Kamis, 22 Maret 2012

Kuasailah Harta, Jangan Dikuasai!

HAMPIR setiap orang berharap memiliki harta yang berlimpah. Apalagi di zaman semua serba uang. Semua kebutuhan dan keinginan harus diperoleh dengan uang.

Sayangnya orang banyak lupa, gara-gara harta, tidak sedikit yang nestapa. Lihatlah di negara-negara berteknologi maju dan melimpah materi, justru merebak empat penyakit akibat stres: jantung, kanker, radang sendi, dan pernapasan. Inilah gambaran nestapa peradaban materi. Harta yang dicari dan dibangga-banggakan ternyata membawa sengsara. Tak bisa menjamin hidup bahagia.

Agar harta tak sia-sia, kita harus bijak menggunakannya. Jika tidak, kita sama saja lepas dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau. Miskin menderita, kaya pun sengsara.

Nah, bagaimana seharusnya kita menyikapi harta benda ini?

Orientasi Tauhid

Apa orientasi dasar hidup kita? Bagaimana kita memandang materi yang kita cari dan kita punyai? Untuk apa semua harta yang kita miliki?

Banyak orang, tanpa sadar, belum memiliki orientasi dasar yang benar terhadap harta. Cara pandangnya kabur, terombang-ambing oleh situasi dan kondisi.

Cara pandang seseorang terhadap harta menunjukkan lurus tidaknya orientasi hidupnya. Seorang yang menggunakan segala cara untuk mendapatkan harta menunjukkan orientasi dasarnya adalah kekayaan. Ia menjadikan harta itu sebagai tujuan tertinggi. Sehingga ia rela mengorbankan waktu, kejujuran, dan harga diri demi mendapatkan kekayaan.

Bahkan, berdoanya kepada Tuhan pun tidak ada yang diminta kecuali harta dunia. Nasib di akhirat pun terabaikan. Inilah yang disyinyalir oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Firman-Nya:

فَإِذَا قَضَيْتُم مَّنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُواْ اللّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْراً فَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاَقٍ

Maka di antara manusia ada orang yang berdoa, "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia"; dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.” (Al Baqarah [2]: 200)

Jika itu yang dilakukan, tidak perlu menunggu di akhirat, di dunia pun pasti akan menuai banyak masalah. Ia telah menebar energi negatif. Dan siapa yang menebar angin, ia pasti menuai badai.

Niat dan tindakan yang tidak benar akan berbuah pahit. Konflik dengan keluarga dan kolega, berurusan dengan hukum, sampai ancaman pembunuhan dari mereka yang merasa dizalimi.

Cara-cara seperti itu jelas tidak mengundang berkah dan ridha Allah Ta’ala. Mungkin bisa saja ia berkelit dari jeratan hukum karena kelicinannya. Tapi, tanpa rahmat Allah Ta’ala, kehidupannya tak akan berkah.

Seorang yang telah bersyahadat mestinya menjadikan tauhid sebagai orientasi dasar dalam hidupnya dan menjadikan ridha Allah Ta’ala sebagai tujuan hidupnya. Adapun harta hanya menjadi alat, bukan tujuan. Maka ia akan menggunakan harta sebesar-besarnya untuk mencapai tujuan mulia itu.

Bernilai Ibadah

Bekerja mencari harta, bila berorientasi benar, bisa memuliakan kita. Meski bekerja terlihat hanya sebagai amalan dunia, tapi jika berbingkai tauhid, semuanya menjadi bernilai ibadah.

Di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ada anak muda yang kuat dan perkasa. Suatu hari, pagi-pagi sekali, ia sudah keluar rumah untuk bekerja mencari harta.

Kemudian ada orang yang berkomentar, “Kasihan sekali orang itu. Andai kata masa mudanya serta kekuatannya digunakan untuk fi sabilillah, alangkah baiknya.”

Mendengar komentar itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun meluruskannya. Kata beliau, ”Janganlah kamu mengatakan begitu. Sebab kalau keluarnya orang itu dari rumah untuk bekerja demi mengusahakan kehidupan anaknya yang masih kecil, maka ia telah berusaha fi sabilillah. Jika ia bekerja untuk dirinya sendiri agar tidak sampai meminta-minta pada orang lain, itu pun fi sabilillah. Tetapi bila ia bekerja karena untuk berpamer atau untuk bermegah-megahan maka itu fi sabilisy syaithan (karena mengikuti jalan setan).” (Hadits Riwayat Thabrani).

Dengan semangat fi sabilillah harta menjadi berkah. Harta akan mendatangkan kebaikan karena di sana ada rahmat Allah Ta’ala. Kalau ada kelebihan, insya Allah, bukan untuk kesombongan dan bermegahan, tetapi untuk diberikan kepada orang lain sebagai zakat, infak, dan sedekah. Harta yang baik adalah harta yang ada di tangan orang yang baik, yang digunakan untuk beramal shaleh.

Para Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ada juga yang berharta banyak. Salah seorang di antaranya adalah Abdurrahman bin Auf. Dia pernah menyedekahkan 700 ekor unta beserta muatannya berupa kebutuhan pokok dan barang perniagaan kepada kaum Muslim. Ia juga pernah membeli tanah senilai 40 ribu dinar atau setara Rp 55 miliar untuk dibagi-bagikan kepada para istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan fakir miskin. Ia juga pernah menginvestasikan tak kurang 500 ekor kuda perang dan 1.500 ekor unta untuk jihad fi sabilillah.

Ketika wafat ia pun masih sempat mewasiatkan 50 ribu dinar untuk diberikan kepada veteran perang Badar. Masing-masing pahlawan mendapat jatah 400 dinar atau setara Rp 560 juta.

Tidak semestinya kelebihan harta menghalangi kita untuk meraih ridha Allah Ta’ala. Harta yang dicari dengan jalan tidak halal jelas hanya akan mempersulit perjalanan menuju Allah Ta’ala. Harta yang dicari dengan jalan halal tetapi belum digunakan di jalan Allah, juga masih belum bernilai di sisi-Nya.

Harta yang telah disedekahkan di jalan Allah Ta’ala, itulah investasi abadi yang akan dilipatgandakan balasannya oleh Allah Ta’ala. Sementara harta yang tersimpan, saat maut menjemput, pasti akan kita tinggalkan di dunia ini. Hanya amal yang akan menyertai kita menghadap Allah Ta’ala kelak.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdabda, ”Ada tiga perkara yang mengikuti mayit sesudah wafatnya, yaitu keluarganya, hartanya, dan amalnya. Yang dua kembali dan yang satu tinggal bersamanya. Yang pulang kembali adalah keluarga dan hartanya, sedangkan yang tinggal bersamanya adalah amalnya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Zuhud Sejati

Banyak orang kaya yang merasa seolah-olah menguasai harta, padahal dialah yang dikuasai harta. Orang yang menjadikan harta sebagai tujuan dan melakukan segala cara untuk mendapatkannya adalah orang yang telah diperbudak oleh harta dan kesenangan dunia.

Seorang yang punya orientasi dasar tauhid dan istiqamah dengan prinsipnya, akan memiliki mental yang tercerahkan. Kaya bukan semata pada harta, tetapi pada hati. Rasa berkecukupanlah yang membuat orang bisa berdaya memberi dan berbagi.

Sebaliknya, seseorang yang secara materi kaya, tetapi mentalnya masih berkekurangan dan tamak, tak akan mampu mengeluarkan hartanya di jalan Allah Ta’ala. Ia malah ingin menyimpan sebanyak-banyaknya lagi. Mengambil dan mengambil. Orang demikian telah diperalat oleh hartanya.

Seorang yang bertauhid, hanya menjadi hamba Allah Ta’ala, bukan hamba selain-Nya. Ia hanya rela dikuasai oleh Allah Ta’ala, bukan selain-Nya. Orang seperti Abdurrahman bin Auf mampu memberikan hartanya sampai sekian banyak bukan karena ia kaya raya, tetapi karena ia mampu menguasai hartanya.

Sehingga, meski kaya raya, penampilan Abdurrahman bin Auf tetap sederhana. Ia tidak menyombongkan diri. Pakaiannya sama dengan pakaian pelayannya. Di badannya ada dua puluh bekas luka perang. Cacat pincang dan giginya yang rontok sehingga berakibat cadel, adalah tanda jasa di perang itu.

Harta seharusnya hanya menempel di tangan saja, bukan di pikiran, apalagi di hatinya. Itulah zuhud. Zuhud bukan karena tidak ada harta tetapi karena idealisme tauhidnya. Orang seperti inilah yang akan mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat sebagaimana doa yang senantiasa kita panjatkan kepada Allah Ta’ala yang termaktub dalam Al Baqarah [2]: 201.
وِمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” Wallahu a’lam bish-shawab.*

Jumat, 16 Maret 2012

Menyambut Kelahiran Anak

Setiap pasangan suami istri tentu berharap memiliki keturunan atau anak. Ketika tahu bahwa buah hati yang dinanti-nanti akan lahir, mereka menyiapkan segala sesuatu untuk menyambutnya. Islam telah mengajarkan kepada umatnya tentang adab menyambut kedatangan anak tersebut.

Di antara hal yang perlu disiapkan dan dilakukan adalah:

1. Menemani Istrinya
Seorang istri yang akan melahirkan biasanya diliputi perasaan gelisah. Karena itu, suami hendaknya menemani dan memberikan motivasi agar tetap tabah dan sabar. Selain itu juga berdoa kepada Allah Ta’ala serta banyak beristighfar, bershalawat, dan membaca al-Qur`an.

2. Mengazani dan Mengiqamahkan
Suami hendaklah segera mengazani di telinga kanan dan mengiqamahkan di telinga kiri pada anaknya yang baru lahir. Ini dimaksudkan agar kalimat pertama yang didengar si bayi adalah kalimat thayyibah dan dijauhkan dari gangguan setan. Dalam Hadist yang diriwayatkan dari Rafi’, ia berkata: “Aku melihat sendiri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengazankan Al-Hassan bin Ali pada telinganya ketika ia baru dilahirkan oleh Fatimah.” (Riwayat Abu Daud dan Tirmizi)

3. Mentahnik
Tahnik dilakukan dengan meletakkan sedikit buah kurma di atas jari telunjuk dan dimasukkan ke mulut bayi serta dengan perlahan-lahan digerakkan ke kanan dan kiri. Ini dilakukan agar kurma tadi menyentuh seluruh mulut bayi hingga terkena rongga tekaknya. Lebih baik jika kurma tadi dikunyah oleh orang saleh.
Dalam sebuah Hadits dari Abi Musa, ia berkata: “Telah dikaruniakan kepadaku seorang anak dan aku membawanya kepada Rasulullah. Beliau menamakannya Ibrahim, lalu mentahnikkannya dengan kurma dan mendoakan keberkahan untuknya, kemudian baginda menyerahkan kembali anak itu kepadaku.” (Riwayat Bukhari)
Tahnik dimaksudkan agar anggota mulut bayi kuat sehingga mampu menghisap susu ibunya.

4. Cukur Rambut
Disunnahkan mencukur rambut bayi yang baru lahir. Hikmahnya, cukur dapat menghilangkan selaput kulit kepala (yaitu sejenis cairan beku yang melapisi kulit kepala) dan juga dapat memberikan daya kekuatan dan ketajaman pada penglihatan mata, bau, dan pendengaran.
Meski disunnahkan, namun dilarang melakukan qaza’: mencukur sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain. “Rasulullah melarang qaza, yaitu mencukur rambut bayi dengan membiarkan sebagian rambutnya.” (Riwayat Ahmad)

5. Mengkhitan
Khitan adalah memotong selaput kulit yang menutupi kepala zakar laki-laki atau memotong sedikit ujung daging yang tumbuh dalam faraj perempuan. Ini dilakukan pada hari ketujuh. “Rasulullah melakukan aqiqah untuk Hasan dan Husin serta mengkhitankan keduanya pada hari ketujuh (dari hari kelahiran).” (Riwayat Baihaqi)

6. Memberi Nama yang Baik
Islam menyuruh umatnya memilihkan nama yang baik. Ini dimaksudkan sebagai tanda pengenalan dan perbedaan antara orang Islam dan bukan Islam. Nama yang baik juga merupakan doa bagi anak yang akan mempengaruhi keperibadiannya.

7. Melakukan Aqiqah
Orangtua hendaknya mengaqiqahkan anaknya karena hukumnya sunat mu’akad. Dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan seekor kambing untuk anak perempuan. Sebaiknya dilakukan pada hari ketujuh sebagaimana sabda Rasulullah: “Setiap anak yang dilahirkan tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ke tujuh kelahirannya, diberikan nama dan dicukur rambutnya.” (Riwayat Abu Daud)

TANTANGAN MENCIPTAKAN LALAT

DULU, kepada penyembah berhala Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat tantangan yakni ayat 73 surah Al-Hajj. Tuhan menantang mereka dengan kalimat “sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah, tidak akan mampu menciptakan seekor lalat sekalipun, walaupun semuanya bersatu untuk melakukannya”.
Siapakah yang mereka seru selain Allah? Tidak lain adalah berhala, yang kemudian mereka seru atau sembah.
Ya, berhala-berhala yang nota bene dibuat oleh tangan mereka sendiri, sudah pastilah tidak punya daya apa-apa. Bahkan untuk menciptakan lalat yang kecil dan sepele saja tidak bisa. Malah, dikatakan lagi pada mereka, jika lalat itu mengambil sesuatu dari kalian, niscaya kalian tidak mengetahui apa yang telah diambil oleh lalat itu dan kalian tidak bisa mengambilnya kembali. Tuhan lalu mencemooh keduanya, alangkah lemahnya yang menyembah dan disembah.

Sekarang, manusia modern tidak menyembah berhala yang berupa patung-patung. Tapi manusia modern mengagung-agungkan teknologi. Teknologi adalah produk andalan manusia yang dibanggakan sebagai ciptaan manusia yang bisa menghasilkan apa saja.
Dengan teknologinya, manusia membuat pesawat terbang, roket, satelit dan pesawat ulang-alik. Dengan pesawat angkasa luar itu, manusia sudah menginjakkan kaki di bulan dan menancapkan bendera di permukaannya. Dengan pesawat ulang-alik, manusia sudah silih berganti bolak-balik ke angkasa luar lebih jauh dari bulan. Misi penjelajahan ke planet lain terus diupayakan dengan cita-cita satu waktu bisa menjejakkan kaki di planet Mars. Untuk itu teknologi roket dan pesawat ruang angkasa terus dipercanggih.

Tapi di tengah kecanggihan membuat pesawat angkasa luar tersebut, kembali melalui ayat tadi Allah mengajukan tantangan, bisakah kalian menciptakan seekor lalat? Lalat hidup, yang kebanyakan dianggap sepele dan pembawa penyakit itu?
Sangat meyakinkan, firman Allah dalam surah Al-Hajj ayat 73, bukan hanya menantang dan kemudian mencemooh kaum musyrikin yang mengandalkan berhala-berhalanya. Dalam kehidupan modern sekarang ini, pada saat manusia mengandalkan teknologinya sehingga manusia merasa tidak lagi membutuhkan Tuhan, maka tantangan itu sangat relevan. Bisakah teknologi yang kamu andalkan menciptakan seekor lalat? Ketika dengan teknologi kalian bisa membuat pesawat canggih bahkan pesawat ruang angkasa, bisakah kalian menciptakan teknologi yang bisa memproduk lalat?

Ini sebenarnya adalah sebuah cara Tuhan untuk menyadarkan manusia. Manusia yang mengaku sebagai mahluk cerdas dan bangga dengan beraneka macam produk kecerdasannya, betapa sering justru menunjukkan kebodohannya sendiri. Termasuk kebodohan yang membuatnya tidak bisa merenungi kelemahan segala yang diandalkannya. Manusia cerdas hanya mampu kagum dengan teknologinya yang bisa membuat pesawat angkasa yang canggih, tapi tidak mampu merenungi kenyataan bahwa teknologinya itu tidak berdaya untuk menciptakan mahluk hidup yang kecil sekali pun. Tuhan sengaja memilih lalat sebagai bahan tantangan yang sekaligus mengejek manusia yang mengandalkan dan memuja sesuatu selain Allah.
Itulah ironi manusia modern dalam dunia yang diklaim semakin maju sekarang ini. Pada satu pihak ia unjuk kecerdasan dengan berbagai produk kecerdasannya, tapi pada pihak lain ia sendiri unjuk kebodohan, melakukan “bunuh diri” dengan produk kecerdasannya itu. Betapa sering sebuah teknologi dipuja-puja kecanggihannya namun belakangan kemudian baru disadari bahwa penggunaannya menimbulkan berbagai kerusakan. Bayangkan pula bagaimana manusia cerdas membuat senjata nuklir lalu kemudian ketakutan sendiri dengannya.

Jika dengan berhala yang disembah manusia musyrik tidak mengenal Tuhan yang sebenarnya, maka pemujaan teknologi juga menghasilkan hal yang sama. Dengan teknologi manusia bisa menjadi musyrik karena lupa kepada Tuhan dan merasa segala kebutuhannya sudah bisa dipenuhi oleh teknologi. Manusia tidak merasa perlu mendengar firman Tuhan. Yang diperlukan adalah iklan yang bisa menuntun memilih apa dan melakukan apa. Firman Tuhan tidak dikaji, iklan televisi justru disimak baik-baik bahkan dihafal. Sungguh, sebuah ironi.

SEKOLAH YANG MENDIDIK

Mengajarkan kepada anak untuk berpikir, bersikap dan berperilaku baik tidak cukup untuk melahirkan anak-anak yang baik. Apalagi sekadar membiasakan anak dengan kebaikan, tidak cukup untuk menjadikan sebuah sekolah dianggap sebagai sekolah yang baik.
Ada hal lain yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan di sekolah. Ada budaya sekolah, iklim kelas yang mendukung anak untuk senantiasa berpikir, bersikap dan berperilaku baik, guru-guru yang memiliki perhatian total serta kecintaan terhadap tugas mendidik, dan orangtua yang memiliki kepercayaan tinggi (trust) terhadap sekolah.

Khususnya poin terakhir, ini menuntut sekolah untuk mampu menjadi lembaga yang memiliki tingkat kelayakan untuk dipercaya yang sangat kuat. Tanpa itu, tidak bisa membangun kepercayaan dari orangtua meskipun sekolah sudah berkali-kali menyelenggarakan acara untuk meningkatkan reputasi sekolah di mata orangtua.
Sangat berbeda antara meningkatkan derajat kelayakan lembaga untuk dipercaya dengan meminta orangtua untuk percaya penuh. Hal ini menuntut sekolah agar terus berbenah dan berusaha dengan sungguh-sungguh menjaga amanah yang diberikan oleh orangtua terhadap sekolah, yakni berusaha memberikan pendidikan terbaik, mengarahkan anak didik agar senantiasa lurus dalam berpikir dan benar dalam berkeyakinan, serta membuka diri untuk menerima masukan dari orangtua.
Sekolah merasa senang terhadap niat baik orangtua meskipun boleh jadi apa yang disampaikan orangtua tidak tepat. Sekolah merasa senang karena melihat iktikad baik orangtua, sehingga sekolah tidak sibuk membela diri.

Sesungguhnya lembaga yang memiliki integritas sangat tinggi lebih mencintai kebaikan –termasuk di dalamnya niat baik orangtua—sekaligus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkannya di sekolah. Ia lebih suka untuk menambah kesempatan berbenah. Sebaliknya, sekolah yang kehilangan visi akan sibuk membangun reputasi. Caranya dengan menciptakan prestasi, pengakuan dan rekam jejak yang positif.
Di luar itu, ada sekolah-sekolah yang buruk, meskipun di luar tampak sangat baik. Sekolah jenis ini bukan membangun reputasi, tetapi melakukan pencitraan melalui prestasi yang tampaknya memukau. Padahal prestasi tersebut bukan merupakan hasil jerih-payah sekolah, atau prestasi tersebut tidak menggambarkan kualitas inti sekolah, yakni pendidikan. Bukan tidak boleh berprestasi dalam bidang olahraga dan seni. Tetapi tanpa prestasi dalam bidang yang menjadi tugas pokok sekolah, berbagai gelar tersebut tak ada nilainya.

Pertanyaannya, apa yang bisa mengantarkan sekolah menjadi lembaga pendidikan yang baik dan memiliki integritas tinggi?
Pertama, kualitas kepemimpinan kepala sekolah dan wakil-wakilnya (prinsipalship) beserta lembaga yang mengelola. Kedua, totalitas mendidik dari para pengajar. Ini tampak dari tinggi rendahnya passion (kegairahan mengajar yang sangat tinggi) dari para guru yang meliputi kecintaannya terhadap profesi sebagai guru, kecintaan yang sangat besar terhadap anak didik, obsesi yang sangat tinggi untuk mendidik para siswanya menjadi manusia ideal dan terikat secara emosi dengan cita-cita tersebut, memiliki kesediaan meluangkan waktu untuk memperhatikan para siswanya dan sekaligus memiliki kemauan belajar dengan sungguh-sungguh untuk meningkatkan kemampuan maupun kualitasnya sebagai guru.

Sesungguhnya, unsur yang ada pada passion antara lain mencakup obsesi, antusiasme dan ikatan emosi yang kuat sehingga bersemangat (zeal) dengan apa yang digeluti. Jika tiga hal tersebut tidak ada, hampir pasti guru tidak memiliki kegairahan (passion) sebagai pendidik.
Tetapi, tanpa kesediaan untuk belajar, guru akan jumud atau bahkan frustasi meskipun ia memiliki obsesi, entusiasme dan semangat yang menyala-nyala (zeal) disebabkan adanya ikatan emosi yang kuat.
Masalahnya adalah, guru-guru semacam itu sulit sekali kita peroleh melalui proses rekrutmen terbuka. Yang paling memungkinkan adalah melalui proses pencarian dan pendekatan kepada orang-orang yang memenuhi kriteria agar mereka bersedia menjadi guru. Masing-masing membawa konsekuensi bagi sekolah.
Nah.

Kemitraan Sekolah dan Orangtua

Sekolah yang baik tidak bisa dibeli karena ia berdiri untuk sebuah prinsip. Ia memperjuangkan idealisme. Ia sedang ingin mewujudkan sebuah cita-cita mulia. Cukuplah kita merasa khawatir jika sekolah lebih banyak menonjolkan kegiatan-kegiatan populis untuk mengambil hati orangtua daripada melakukan upaya berkesinambungan agar orangtua turut memperjuangkan idealisme tersebut, sekurangnya bersikap hormat terhadap idealisme sekolah serta prinsip-prinsip yang ditegakkan oleh lembaga.
Sekolah yang mudah ikut arus, menuruti kemauan “pasar” dan larut dalam trend, hampir pasti merupakan lembaga yang missi ideologisnya lemah dan visinya tidak jelas.
Ini bukan berarti sekolah mengabaikan peran orangtua. Tanpa ada komitmen orangtua untuk berubah, maka pengajaran, pembiasaan dan pendidikan yang dilakukan oleh sekolah bisa mentah. Tetapi sekolah yang baik tetap bertumpu pada proses yang terencana di sekolah. Sekolah tidak bisa mengandalkan orangtua karena meskipun sama-sama memiliki komitmen yang sangat tinggi, wujud komitmen itu berbeda-beda sesuai dengan tingkat pemahaman dan kemampuan orangtua.
Disamping itu, sekolah juga harus menyadari bahwa tidak mungkin menyamakan cara orangtua mengasuh anak secara total. Ada banyak hal yang menyebabkan para orangtua –termasuk guru—secara alamiah berbeda satu sama lain, bahkan di antara orang-orang yang memiliki cara pandang sama. Tak ada keraguan sedikit pun bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab, ‘Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhum ajma’in merupakan Sahabat utama yang penuh kemuliaan, dan khalifah yang mendapat petunjuk (khulafaur rasyidin). Tetapi mereka masing-masing memiliki kepribadian yang unik dan temperamen yang berbeda.
Itu Sahabat utama radhiyallahu ‘anhum. Mereka jauh lebih utama dibanding kita yang hidup sekarang ini.
Maka, bagaimana mungkin kita secara total menyamakan cara orangtua murid mengasuh anak dengan cara guru mendidik (atau mengajar?) di sekolah. Jenjang pendidikan berbeda-beda, kemampuan memahami bertingkat-tingkat dan latar belakang sekolah sangat beragam. Padahal, sudah paham sangat berbeda dengan mampu menerapkan dengan baik. Selain itu, mereka menjadi orangtua bukan karena menempuh pendidikan khusus tentang bagaimana menjadi orangtua, tetapi karena mereka sudah punya anak.
Orangtua tidak memiliki persiapan khusus dalam mendidik anak, kecuali orang-orang tertentu saja. Gurulah yang memang sedari awal –seharusnya—mempersiapkan diri bagaimana mendidik para murid, termasuk menghadapi mereka yang bermasalah perilakunya. Apalagi jika kita perhatikan bahwa waktu efektif anak di sekolah jauh lebih banyak dibanding di rumah, maka seharusnya sekolah menjadi koreksi atas apa yang terjadi di rumah.

Lalu apa harus sama antara sekolah dan rumah? Nilai-nilai dasar yang harus ditegakkan. Ini merupakan tugas sekolah untuk secara berkesinambungan melaksanakan pendidikan bagi orangtua agar bersama-sama anak menghormati, memuliakan dan merasa bangga dengan nilai-nilai itu sehingga amat besar keinginan dari setiap pihak untuk mewujudkan nilai tersebut dimana pun mereka berada. Sekadar paham tak akan membuat mereka bangga. Wallahu a’lam bish-shawab.

Sudahkah Anak-Anak Siap Memandikan dan Mengkafani Kita Kelak?

JIKA Anda seorang ayah, dan mengenal Islam, dan pernah mendengar ayat ini, maka Anda perlu takjub dengan diri Anda.

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

"Wahai Robb kami, karuniakanlah pada kami dan keturunan kami serta istri-istri kami penyejuk mata kami. Jadikanlah pula kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa" (QS. Al Furqon:74)

Coba perhatikan makna ayat di atas sekali lagi. Ayat di atas adalah berbicara tentang seorang lelaki atau suami yang mengangkat tangannya dan berdoa kepada Allah mengharapkan agar istri dan anak-anaknya selamat di dunia dan akhirat. Kenapa bukan seorang wanita atau anak-anak? Itulah hebatnya seorang lelaki. Perjuangan hidupnya Allah torehkan dalam kitab yang mulia, Al-Quran. Ia menjadi pemimpin bagi keluarganya. Ia tidak boleh direndahkan oleh dirinya sendiri atau oleh orang lain, karena Allah telah memuliakannya. Ia tidak boleh di belakang wanita sebagai makmum. Ia tetap menjadi pemimpin walaupun berada di kerumunan sepuluh, seratus, atau seribu wanita sekali pun. Bahkan seandainya ada satu milyar wanita, dan ia laki-laki seorang diri. Ia tetap menjadi imam di depan para wanita. Suatu aturan fiqih yang memang benar-benar luar biasa!

Sekali lagi, kalau anda seorang ayah atau laki-laki, maka bersyukurlah.

Tahukah Anda, bahwa doa kita tidak hanya untuk kebahagiaan di dunia ini? Kita berdoa kepada Allah sebenarnya meminta agar kelak di akhirat dimuliakan oleh-Nya.
Bagi orangtua, menjadi Muslim yang baik mungkin tidak sulit, karena sudah tahu mana yang benar dan mana yang salah. Walaupun kita terkadang malas untuk mengikuti yang benar, tapi sebenarnya kita tahu bahwa itu adalah yang benar. Bagaimana dengan anak-anak kita?
Jasad Kita, Keturunan Kita
Tidaklah perlu berbicara masalah akhirat. Mari kita berbicara masalah yang benar-benar riil. Yaitu kematian. Setiap orang akan mati.
Pertanyaannya adalah, sudahkah anak-anak Anda siap memandikan dan mengkafani Anda kelak? Siapa nanti yang menurunkan badan Anda ke liang kubur? Pak Modin? Pak Lurah ? Atau pak Carik? Atau seorang polisi dengan pistol di pinggang?
Lihatlah nuansa yang ada di keluarga sendiri, insyaAllah kita akan tahu seperti apa kelak anak-anak kita meilhat jasad kita? Ia akan ngeri karena terlalu banyak melihat film hantu dan zombie atau ia akan mencium dan mengelusnya penuh kasih sayang?
Kita semua sering berdoa meminta Allah agar dikaruniai anak-anak yang sholeh. Di antaranya ada do’a yang berasal dari para Nabi Ibrahim ‘alaihi salaam.

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Robbi hablii minash shoolihiin,” [Ya Rabbku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shaleh]”. (QS. Ash Shaffaat: 100). Ini juga termasuk do’a yang bisa dipanjatkan untuk meminta keturunan, terutama keturunan yang sholeh.
Atau doa Nabi Dzakariya ‘alaihis salaam,

رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ

“Robbi hab lii min ladunka dzurriyyatan thoyyibatan, innaka samii’ud du’aa’” [Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mengdengar doa] (QS. Ali Imron: 38).
Al Qurtubhi rahimahullah berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih menyejukkan mata seorang mukmin selain melihat istri dan keturunannya taat pada Allah ‘azza wa jalla.” Perkataan semacam ini juga dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10/333)

Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendo’akan anak Ummu Sulaim, yaitu Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhuma dengan do’a, "Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480).
Dari Abu Hurairah (ra), berkata: "Telah bersabda Rasulullah SAW: Apabila wafat seorang hamba (manusia) maka terputuslah segala amalannya kecuali 3 perkara: shodaqah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang salih yg mendoakannya." (HR Muslim)
Kenapa doa anak yang sholeh mudah di dengar oleh Allah? Karena ketika ia memandikannya, benar-benar ia "elus" kulit dan wajahnya dengan rasa kasih sayang. Ia menangis mengenang kebaikan-kebaikannya.
Kenapa doa anak yang sholeh mudah dikabulkan oleh Allah? Karena ketika ia menjadi imam shalat jenazah di depan jasad ibunya, ia akan bersungguh-sungguh berdoa dengan melinangkan air matanya. Mengenang kebaikan dan keluhuran orangtuanya. Ia akan sangat dan sangat berharap agar Allah benar-benar memuliakan dan menempatkannya di sisi ke Maha Kemulian-Nya.
Ketika ia menurunkan jasad ayah atau ibunya, ia akan menurunkan dengan penuh perasaan dan pelan. Ia pelankan gerakan tangannya, seolah agar tanah yang keras dan bola tanah itu tidak menyakiti jasad yang sudah terbujur. Ia akan pastikan bahwa orangtuanya benar-benar akan mendapatkan posisi tidur yang sangat nyaman.

Sekali lagi, pastikan bahwa nuansa keluarga Anda adalah mereka yang akan mengurus dan menolong kita, setelah kematian nanti.
Nabi tidak pernah mengajarkan kata terlambat. Jika ada benih di tangan, tanam benih itu segera. Perbaiki diri tidak ada kata terlambat, selama nafas masih di dada, dan darah terus mengalir, serta jantung terus berdetak. Kecewa dan menangis dalam masalah dunia adalah biasa. Yang kita kejar adalah akhirat, sedangkan dunia adalah wasilah atau sarana. Silakan mencoba.!.*

M. Yusuf Efendi. Penulis tinggal di San Fransisco. http://blogku.net
FB/YM/Skype: myusufe