Kamis, 22 Maret 2012

Kuasailah Harta, Jangan Dikuasai!

HAMPIR setiap orang berharap memiliki harta yang berlimpah. Apalagi di zaman semua serba uang. Semua kebutuhan dan keinginan harus diperoleh dengan uang.

Sayangnya orang banyak lupa, gara-gara harta, tidak sedikit yang nestapa. Lihatlah di negara-negara berteknologi maju dan melimpah materi, justru merebak empat penyakit akibat stres: jantung, kanker, radang sendi, dan pernapasan. Inilah gambaran nestapa peradaban materi. Harta yang dicari dan dibangga-banggakan ternyata membawa sengsara. Tak bisa menjamin hidup bahagia.

Agar harta tak sia-sia, kita harus bijak menggunakannya. Jika tidak, kita sama saja lepas dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau. Miskin menderita, kaya pun sengsara.

Nah, bagaimana seharusnya kita menyikapi harta benda ini?

Orientasi Tauhid

Apa orientasi dasar hidup kita? Bagaimana kita memandang materi yang kita cari dan kita punyai? Untuk apa semua harta yang kita miliki?

Banyak orang, tanpa sadar, belum memiliki orientasi dasar yang benar terhadap harta. Cara pandangnya kabur, terombang-ambing oleh situasi dan kondisi.

Cara pandang seseorang terhadap harta menunjukkan lurus tidaknya orientasi hidupnya. Seorang yang menggunakan segala cara untuk mendapatkan harta menunjukkan orientasi dasarnya adalah kekayaan. Ia menjadikan harta itu sebagai tujuan tertinggi. Sehingga ia rela mengorbankan waktu, kejujuran, dan harga diri demi mendapatkan kekayaan.

Bahkan, berdoanya kepada Tuhan pun tidak ada yang diminta kecuali harta dunia. Nasib di akhirat pun terabaikan. Inilah yang disyinyalir oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Firman-Nya:

فَإِذَا قَضَيْتُم مَّنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُواْ اللّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْراً فَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاَقٍ

Maka di antara manusia ada orang yang berdoa, "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia"; dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.” (Al Baqarah [2]: 200)

Jika itu yang dilakukan, tidak perlu menunggu di akhirat, di dunia pun pasti akan menuai banyak masalah. Ia telah menebar energi negatif. Dan siapa yang menebar angin, ia pasti menuai badai.

Niat dan tindakan yang tidak benar akan berbuah pahit. Konflik dengan keluarga dan kolega, berurusan dengan hukum, sampai ancaman pembunuhan dari mereka yang merasa dizalimi.

Cara-cara seperti itu jelas tidak mengundang berkah dan ridha Allah Ta’ala. Mungkin bisa saja ia berkelit dari jeratan hukum karena kelicinannya. Tapi, tanpa rahmat Allah Ta’ala, kehidupannya tak akan berkah.

Seorang yang telah bersyahadat mestinya menjadikan tauhid sebagai orientasi dasar dalam hidupnya dan menjadikan ridha Allah Ta’ala sebagai tujuan hidupnya. Adapun harta hanya menjadi alat, bukan tujuan. Maka ia akan menggunakan harta sebesar-besarnya untuk mencapai tujuan mulia itu.

Bernilai Ibadah

Bekerja mencari harta, bila berorientasi benar, bisa memuliakan kita. Meski bekerja terlihat hanya sebagai amalan dunia, tapi jika berbingkai tauhid, semuanya menjadi bernilai ibadah.

Di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ada anak muda yang kuat dan perkasa. Suatu hari, pagi-pagi sekali, ia sudah keluar rumah untuk bekerja mencari harta.

Kemudian ada orang yang berkomentar, “Kasihan sekali orang itu. Andai kata masa mudanya serta kekuatannya digunakan untuk fi sabilillah, alangkah baiknya.”

Mendengar komentar itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun meluruskannya. Kata beliau, ”Janganlah kamu mengatakan begitu. Sebab kalau keluarnya orang itu dari rumah untuk bekerja demi mengusahakan kehidupan anaknya yang masih kecil, maka ia telah berusaha fi sabilillah. Jika ia bekerja untuk dirinya sendiri agar tidak sampai meminta-minta pada orang lain, itu pun fi sabilillah. Tetapi bila ia bekerja karena untuk berpamer atau untuk bermegah-megahan maka itu fi sabilisy syaithan (karena mengikuti jalan setan).” (Hadits Riwayat Thabrani).

Dengan semangat fi sabilillah harta menjadi berkah. Harta akan mendatangkan kebaikan karena di sana ada rahmat Allah Ta’ala. Kalau ada kelebihan, insya Allah, bukan untuk kesombongan dan bermegahan, tetapi untuk diberikan kepada orang lain sebagai zakat, infak, dan sedekah. Harta yang baik adalah harta yang ada di tangan orang yang baik, yang digunakan untuk beramal shaleh.

Para Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ada juga yang berharta banyak. Salah seorang di antaranya adalah Abdurrahman bin Auf. Dia pernah menyedekahkan 700 ekor unta beserta muatannya berupa kebutuhan pokok dan barang perniagaan kepada kaum Muslim. Ia juga pernah membeli tanah senilai 40 ribu dinar atau setara Rp 55 miliar untuk dibagi-bagikan kepada para istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan fakir miskin. Ia juga pernah menginvestasikan tak kurang 500 ekor kuda perang dan 1.500 ekor unta untuk jihad fi sabilillah.

Ketika wafat ia pun masih sempat mewasiatkan 50 ribu dinar untuk diberikan kepada veteran perang Badar. Masing-masing pahlawan mendapat jatah 400 dinar atau setara Rp 560 juta.

Tidak semestinya kelebihan harta menghalangi kita untuk meraih ridha Allah Ta’ala. Harta yang dicari dengan jalan tidak halal jelas hanya akan mempersulit perjalanan menuju Allah Ta’ala. Harta yang dicari dengan jalan halal tetapi belum digunakan di jalan Allah, juga masih belum bernilai di sisi-Nya.

Harta yang telah disedekahkan di jalan Allah Ta’ala, itulah investasi abadi yang akan dilipatgandakan balasannya oleh Allah Ta’ala. Sementara harta yang tersimpan, saat maut menjemput, pasti akan kita tinggalkan di dunia ini. Hanya amal yang akan menyertai kita menghadap Allah Ta’ala kelak.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdabda, ”Ada tiga perkara yang mengikuti mayit sesudah wafatnya, yaitu keluarganya, hartanya, dan amalnya. Yang dua kembali dan yang satu tinggal bersamanya. Yang pulang kembali adalah keluarga dan hartanya, sedangkan yang tinggal bersamanya adalah amalnya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Zuhud Sejati

Banyak orang kaya yang merasa seolah-olah menguasai harta, padahal dialah yang dikuasai harta. Orang yang menjadikan harta sebagai tujuan dan melakukan segala cara untuk mendapatkannya adalah orang yang telah diperbudak oleh harta dan kesenangan dunia.

Seorang yang punya orientasi dasar tauhid dan istiqamah dengan prinsipnya, akan memiliki mental yang tercerahkan. Kaya bukan semata pada harta, tetapi pada hati. Rasa berkecukupanlah yang membuat orang bisa berdaya memberi dan berbagi.

Sebaliknya, seseorang yang secara materi kaya, tetapi mentalnya masih berkekurangan dan tamak, tak akan mampu mengeluarkan hartanya di jalan Allah Ta’ala. Ia malah ingin menyimpan sebanyak-banyaknya lagi. Mengambil dan mengambil. Orang demikian telah diperalat oleh hartanya.

Seorang yang bertauhid, hanya menjadi hamba Allah Ta’ala, bukan hamba selain-Nya. Ia hanya rela dikuasai oleh Allah Ta’ala, bukan selain-Nya. Orang seperti Abdurrahman bin Auf mampu memberikan hartanya sampai sekian banyak bukan karena ia kaya raya, tetapi karena ia mampu menguasai hartanya.

Sehingga, meski kaya raya, penampilan Abdurrahman bin Auf tetap sederhana. Ia tidak menyombongkan diri. Pakaiannya sama dengan pakaian pelayannya. Di badannya ada dua puluh bekas luka perang. Cacat pincang dan giginya yang rontok sehingga berakibat cadel, adalah tanda jasa di perang itu.

Harta seharusnya hanya menempel di tangan saja, bukan di pikiran, apalagi di hatinya. Itulah zuhud. Zuhud bukan karena tidak ada harta tetapi karena idealisme tauhidnya. Orang seperti inilah yang akan mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat sebagaimana doa yang senantiasa kita panjatkan kepada Allah Ta’ala yang termaktub dalam Al Baqarah [2]: 201.
وِمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” Wallahu a’lam bish-shawab.*

Jumat, 16 Maret 2012

Menyambut Kelahiran Anak

Setiap pasangan suami istri tentu berharap memiliki keturunan atau anak. Ketika tahu bahwa buah hati yang dinanti-nanti akan lahir, mereka menyiapkan segala sesuatu untuk menyambutnya. Islam telah mengajarkan kepada umatnya tentang adab menyambut kedatangan anak tersebut.

Di antara hal yang perlu disiapkan dan dilakukan adalah:

1. Menemani Istrinya
Seorang istri yang akan melahirkan biasanya diliputi perasaan gelisah. Karena itu, suami hendaknya menemani dan memberikan motivasi agar tetap tabah dan sabar. Selain itu juga berdoa kepada Allah Ta’ala serta banyak beristighfar, bershalawat, dan membaca al-Qur`an.

2. Mengazani dan Mengiqamahkan
Suami hendaklah segera mengazani di telinga kanan dan mengiqamahkan di telinga kiri pada anaknya yang baru lahir. Ini dimaksudkan agar kalimat pertama yang didengar si bayi adalah kalimat thayyibah dan dijauhkan dari gangguan setan. Dalam Hadist yang diriwayatkan dari Rafi’, ia berkata: “Aku melihat sendiri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengazankan Al-Hassan bin Ali pada telinganya ketika ia baru dilahirkan oleh Fatimah.” (Riwayat Abu Daud dan Tirmizi)

3. Mentahnik
Tahnik dilakukan dengan meletakkan sedikit buah kurma di atas jari telunjuk dan dimasukkan ke mulut bayi serta dengan perlahan-lahan digerakkan ke kanan dan kiri. Ini dilakukan agar kurma tadi menyentuh seluruh mulut bayi hingga terkena rongga tekaknya. Lebih baik jika kurma tadi dikunyah oleh orang saleh.
Dalam sebuah Hadits dari Abi Musa, ia berkata: “Telah dikaruniakan kepadaku seorang anak dan aku membawanya kepada Rasulullah. Beliau menamakannya Ibrahim, lalu mentahnikkannya dengan kurma dan mendoakan keberkahan untuknya, kemudian baginda menyerahkan kembali anak itu kepadaku.” (Riwayat Bukhari)
Tahnik dimaksudkan agar anggota mulut bayi kuat sehingga mampu menghisap susu ibunya.

4. Cukur Rambut
Disunnahkan mencukur rambut bayi yang baru lahir. Hikmahnya, cukur dapat menghilangkan selaput kulit kepala (yaitu sejenis cairan beku yang melapisi kulit kepala) dan juga dapat memberikan daya kekuatan dan ketajaman pada penglihatan mata, bau, dan pendengaran.
Meski disunnahkan, namun dilarang melakukan qaza’: mencukur sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain. “Rasulullah melarang qaza, yaitu mencukur rambut bayi dengan membiarkan sebagian rambutnya.” (Riwayat Ahmad)

5. Mengkhitan
Khitan adalah memotong selaput kulit yang menutupi kepala zakar laki-laki atau memotong sedikit ujung daging yang tumbuh dalam faraj perempuan. Ini dilakukan pada hari ketujuh. “Rasulullah melakukan aqiqah untuk Hasan dan Husin serta mengkhitankan keduanya pada hari ketujuh (dari hari kelahiran).” (Riwayat Baihaqi)

6. Memberi Nama yang Baik
Islam menyuruh umatnya memilihkan nama yang baik. Ini dimaksudkan sebagai tanda pengenalan dan perbedaan antara orang Islam dan bukan Islam. Nama yang baik juga merupakan doa bagi anak yang akan mempengaruhi keperibadiannya.

7. Melakukan Aqiqah
Orangtua hendaknya mengaqiqahkan anaknya karena hukumnya sunat mu’akad. Dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan seekor kambing untuk anak perempuan. Sebaiknya dilakukan pada hari ketujuh sebagaimana sabda Rasulullah: “Setiap anak yang dilahirkan tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ke tujuh kelahirannya, diberikan nama dan dicukur rambutnya.” (Riwayat Abu Daud)

TANTANGAN MENCIPTAKAN LALAT

DULU, kepada penyembah berhala Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat tantangan yakni ayat 73 surah Al-Hajj. Tuhan menantang mereka dengan kalimat “sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah, tidak akan mampu menciptakan seekor lalat sekalipun, walaupun semuanya bersatu untuk melakukannya”.
Siapakah yang mereka seru selain Allah? Tidak lain adalah berhala, yang kemudian mereka seru atau sembah.
Ya, berhala-berhala yang nota bene dibuat oleh tangan mereka sendiri, sudah pastilah tidak punya daya apa-apa. Bahkan untuk menciptakan lalat yang kecil dan sepele saja tidak bisa. Malah, dikatakan lagi pada mereka, jika lalat itu mengambil sesuatu dari kalian, niscaya kalian tidak mengetahui apa yang telah diambil oleh lalat itu dan kalian tidak bisa mengambilnya kembali. Tuhan lalu mencemooh keduanya, alangkah lemahnya yang menyembah dan disembah.

Sekarang, manusia modern tidak menyembah berhala yang berupa patung-patung. Tapi manusia modern mengagung-agungkan teknologi. Teknologi adalah produk andalan manusia yang dibanggakan sebagai ciptaan manusia yang bisa menghasilkan apa saja.
Dengan teknologinya, manusia membuat pesawat terbang, roket, satelit dan pesawat ulang-alik. Dengan pesawat angkasa luar itu, manusia sudah menginjakkan kaki di bulan dan menancapkan bendera di permukaannya. Dengan pesawat ulang-alik, manusia sudah silih berganti bolak-balik ke angkasa luar lebih jauh dari bulan. Misi penjelajahan ke planet lain terus diupayakan dengan cita-cita satu waktu bisa menjejakkan kaki di planet Mars. Untuk itu teknologi roket dan pesawat ruang angkasa terus dipercanggih.

Tapi di tengah kecanggihan membuat pesawat angkasa luar tersebut, kembali melalui ayat tadi Allah mengajukan tantangan, bisakah kalian menciptakan seekor lalat? Lalat hidup, yang kebanyakan dianggap sepele dan pembawa penyakit itu?
Sangat meyakinkan, firman Allah dalam surah Al-Hajj ayat 73, bukan hanya menantang dan kemudian mencemooh kaum musyrikin yang mengandalkan berhala-berhalanya. Dalam kehidupan modern sekarang ini, pada saat manusia mengandalkan teknologinya sehingga manusia merasa tidak lagi membutuhkan Tuhan, maka tantangan itu sangat relevan. Bisakah teknologi yang kamu andalkan menciptakan seekor lalat? Ketika dengan teknologi kalian bisa membuat pesawat canggih bahkan pesawat ruang angkasa, bisakah kalian menciptakan teknologi yang bisa memproduk lalat?

Ini sebenarnya adalah sebuah cara Tuhan untuk menyadarkan manusia. Manusia yang mengaku sebagai mahluk cerdas dan bangga dengan beraneka macam produk kecerdasannya, betapa sering justru menunjukkan kebodohannya sendiri. Termasuk kebodohan yang membuatnya tidak bisa merenungi kelemahan segala yang diandalkannya. Manusia cerdas hanya mampu kagum dengan teknologinya yang bisa membuat pesawat angkasa yang canggih, tapi tidak mampu merenungi kenyataan bahwa teknologinya itu tidak berdaya untuk menciptakan mahluk hidup yang kecil sekali pun. Tuhan sengaja memilih lalat sebagai bahan tantangan yang sekaligus mengejek manusia yang mengandalkan dan memuja sesuatu selain Allah.
Itulah ironi manusia modern dalam dunia yang diklaim semakin maju sekarang ini. Pada satu pihak ia unjuk kecerdasan dengan berbagai produk kecerdasannya, tapi pada pihak lain ia sendiri unjuk kebodohan, melakukan “bunuh diri” dengan produk kecerdasannya itu. Betapa sering sebuah teknologi dipuja-puja kecanggihannya namun belakangan kemudian baru disadari bahwa penggunaannya menimbulkan berbagai kerusakan. Bayangkan pula bagaimana manusia cerdas membuat senjata nuklir lalu kemudian ketakutan sendiri dengannya.

Jika dengan berhala yang disembah manusia musyrik tidak mengenal Tuhan yang sebenarnya, maka pemujaan teknologi juga menghasilkan hal yang sama. Dengan teknologi manusia bisa menjadi musyrik karena lupa kepada Tuhan dan merasa segala kebutuhannya sudah bisa dipenuhi oleh teknologi. Manusia tidak merasa perlu mendengar firman Tuhan. Yang diperlukan adalah iklan yang bisa menuntun memilih apa dan melakukan apa. Firman Tuhan tidak dikaji, iklan televisi justru disimak baik-baik bahkan dihafal. Sungguh, sebuah ironi.

SEKOLAH YANG MENDIDIK

Mengajarkan kepada anak untuk berpikir, bersikap dan berperilaku baik tidak cukup untuk melahirkan anak-anak yang baik. Apalagi sekadar membiasakan anak dengan kebaikan, tidak cukup untuk menjadikan sebuah sekolah dianggap sebagai sekolah yang baik.
Ada hal lain yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan di sekolah. Ada budaya sekolah, iklim kelas yang mendukung anak untuk senantiasa berpikir, bersikap dan berperilaku baik, guru-guru yang memiliki perhatian total serta kecintaan terhadap tugas mendidik, dan orangtua yang memiliki kepercayaan tinggi (trust) terhadap sekolah.

Khususnya poin terakhir, ini menuntut sekolah untuk mampu menjadi lembaga yang memiliki tingkat kelayakan untuk dipercaya yang sangat kuat. Tanpa itu, tidak bisa membangun kepercayaan dari orangtua meskipun sekolah sudah berkali-kali menyelenggarakan acara untuk meningkatkan reputasi sekolah di mata orangtua.
Sangat berbeda antara meningkatkan derajat kelayakan lembaga untuk dipercaya dengan meminta orangtua untuk percaya penuh. Hal ini menuntut sekolah agar terus berbenah dan berusaha dengan sungguh-sungguh menjaga amanah yang diberikan oleh orangtua terhadap sekolah, yakni berusaha memberikan pendidikan terbaik, mengarahkan anak didik agar senantiasa lurus dalam berpikir dan benar dalam berkeyakinan, serta membuka diri untuk menerima masukan dari orangtua.
Sekolah merasa senang terhadap niat baik orangtua meskipun boleh jadi apa yang disampaikan orangtua tidak tepat. Sekolah merasa senang karena melihat iktikad baik orangtua, sehingga sekolah tidak sibuk membela diri.

Sesungguhnya lembaga yang memiliki integritas sangat tinggi lebih mencintai kebaikan –termasuk di dalamnya niat baik orangtua—sekaligus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkannya di sekolah. Ia lebih suka untuk menambah kesempatan berbenah. Sebaliknya, sekolah yang kehilangan visi akan sibuk membangun reputasi. Caranya dengan menciptakan prestasi, pengakuan dan rekam jejak yang positif.
Di luar itu, ada sekolah-sekolah yang buruk, meskipun di luar tampak sangat baik. Sekolah jenis ini bukan membangun reputasi, tetapi melakukan pencitraan melalui prestasi yang tampaknya memukau. Padahal prestasi tersebut bukan merupakan hasil jerih-payah sekolah, atau prestasi tersebut tidak menggambarkan kualitas inti sekolah, yakni pendidikan. Bukan tidak boleh berprestasi dalam bidang olahraga dan seni. Tetapi tanpa prestasi dalam bidang yang menjadi tugas pokok sekolah, berbagai gelar tersebut tak ada nilainya.

Pertanyaannya, apa yang bisa mengantarkan sekolah menjadi lembaga pendidikan yang baik dan memiliki integritas tinggi?
Pertama, kualitas kepemimpinan kepala sekolah dan wakil-wakilnya (prinsipalship) beserta lembaga yang mengelola. Kedua, totalitas mendidik dari para pengajar. Ini tampak dari tinggi rendahnya passion (kegairahan mengajar yang sangat tinggi) dari para guru yang meliputi kecintaannya terhadap profesi sebagai guru, kecintaan yang sangat besar terhadap anak didik, obsesi yang sangat tinggi untuk mendidik para siswanya menjadi manusia ideal dan terikat secara emosi dengan cita-cita tersebut, memiliki kesediaan meluangkan waktu untuk memperhatikan para siswanya dan sekaligus memiliki kemauan belajar dengan sungguh-sungguh untuk meningkatkan kemampuan maupun kualitasnya sebagai guru.

Sesungguhnya, unsur yang ada pada passion antara lain mencakup obsesi, antusiasme dan ikatan emosi yang kuat sehingga bersemangat (zeal) dengan apa yang digeluti. Jika tiga hal tersebut tidak ada, hampir pasti guru tidak memiliki kegairahan (passion) sebagai pendidik.
Tetapi, tanpa kesediaan untuk belajar, guru akan jumud atau bahkan frustasi meskipun ia memiliki obsesi, entusiasme dan semangat yang menyala-nyala (zeal) disebabkan adanya ikatan emosi yang kuat.
Masalahnya adalah, guru-guru semacam itu sulit sekali kita peroleh melalui proses rekrutmen terbuka. Yang paling memungkinkan adalah melalui proses pencarian dan pendekatan kepada orang-orang yang memenuhi kriteria agar mereka bersedia menjadi guru. Masing-masing membawa konsekuensi bagi sekolah.
Nah.

Kemitraan Sekolah dan Orangtua

Sekolah yang baik tidak bisa dibeli karena ia berdiri untuk sebuah prinsip. Ia memperjuangkan idealisme. Ia sedang ingin mewujudkan sebuah cita-cita mulia. Cukuplah kita merasa khawatir jika sekolah lebih banyak menonjolkan kegiatan-kegiatan populis untuk mengambil hati orangtua daripada melakukan upaya berkesinambungan agar orangtua turut memperjuangkan idealisme tersebut, sekurangnya bersikap hormat terhadap idealisme sekolah serta prinsip-prinsip yang ditegakkan oleh lembaga.
Sekolah yang mudah ikut arus, menuruti kemauan “pasar” dan larut dalam trend, hampir pasti merupakan lembaga yang missi ideologisnya lemah dan visinya tidak jelas.
Ini bukan berarti sekolah mengabaikan peran orangtua. Tanpa ada komitmen orangtua untuk berubah, maka pengajaran, pembiasaan dan pendidikan yang dilakukan oleh sekolah bisa mentah. Tetapi sekolah yang baik tetap bertumpu pada proses yang terencana di sekolah. Sekolah tidak bisa mengandalkan orangtua karena meskipun sama-sama memiliki komitmen yang sangat tinggi, wujud komitmen itu berbeda-beda sesuai dengan tingkat pemahaman dan kemampuan orangtua.
Disamping itu, sekolah juga harus menyadari bahwa tidak mungkin menyamakan cara orangtua mengasuh anak secara total. Ada banyak hal yang menyebabkan para orangtua –termasuk guru—secara alamiah berbeda satu sama lain, bahkan di antara orang-orang yang memiliki cara pandang sama. Tak ada keraguan sedikit pun bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab, ‘Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhum ajma’in merupakan Sahabat utama yang penuh kemuliaan, dan khalifah yang mendapat petunjuk (khulafaur rasyidin). Tetapi mereka masing-masing memiliki kepribadian yang unik dan temperamen yang berbeda.
Itu Sahabat utama radhiyallahu ‘anhum. Mereka jauh lebih utama dibanding kita yang hidup sekarang ini.
Maka, bagaimana mungkin kita secara total menyamakan cara orangtua murid mengasuh anak dengan cara guru mendidik (atau mengajar?) di sekolah. Jenjang pendidikan berbeda-beda, kemampuan memahami bertingkat-tingkat dan latar belakang sekolah sangat beragam. Padahal, sudah paham sangat berbeda dengan mampu menerapkan dengan baik. Selain itu, mereka menjadi orangtua bukan karena menempuh pendidikan khusus tentang bagaimana menjadi orangtua, tetapi karena mereka sudah punya anak.
Orangtua tidak memiliki persiapan khusus dalam mendidik anak, kecuali orang-orang tertentu saja. Gurulah yang memang sedari awal –seharusnya—mempersiapkan diri bagaimana mendidik para murid, termasuk menghadapi mereka yang bermasalah perilakunya. Apalagi jika kita perhatikan bahwa waktu efektif anak di sekolah jauh lebih banyak dibanding di rumah, maka seharusnya sekolah menjadi koreksi atas apa yang terjadi di rumah.

Lalu apa harus sama antara sekolah dan rumah? Nilai-nilai dasar yang harus ditegakkan. Ini merupakan tugas sekolah untuk secara berkesinambungan melaksanakan pendidikan bagi orangtua agar bersama-sama anak menghormati, memuliakan dan merasa bangga dengan nilai-nilai itu sehingga amat besar keinginan dari setiap pihak untuk mewujudkan nilai tersebut dimana pun mereka berada. Sekadar paham tak akan membuat mereka bangga. Wallahu a’lam bish-shawab.

Sudahkah Anak-Anak Siap Memandikan dan Mengkafani Kita Kelak?

JIKA Anda seorang ayah, dan mengenal Islam, dan pernah mendengar ayat ini, maka Anda perlu takjub dengan diri Anda.

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

"Wahai Robb kami, karuniakanlah pada kami dan keturunan kami serta istri-istri kami penyejuk mata kami. Jadikanlah pula kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa" (QS. Al Furqon:74)

Coba perhatikan makna ayat di atas sekali lagi. Ayat di atas adalah berbicara tentang seorang lelaki atau suami yang mengangkat tangannya dan berdoa kepada Allah mengharapkan agar istri dan anak-anaknya selamat di dunia dan akhirat. Kenapa bukan seorang wanita atau anak-anak? Itulah hebatnya seorang lelaki. Perjuangan hidupnya Allah torehkan dalam kitab yang mulia, Al-Quran. Ia menjadi pemimpin bagi keluarganya. Ia tidak boleh direndahkan oleh dirinya sendiri atau oleh orang lain, karena Allah telah memuliakannya. Ia tidak boleh di belakang wanita sebagai makmum. Ia tetap menjadi pemimpin walaupun berada di kerumunan sepuluh, seratus, atau seribu wanita sekali pun. Bahkan seandainya ada satu milyar wanita, dan ia laki-laki seorang diri. Ia tetap menjadi imam di depan para wanita. Suatu aturan fiqih yang memang benar-benar luar biasa!

Sekali lagi, kalau anda seorang ayah atau laki-laki, maka bersyukurlah.

Tahukah Anda, bahwa doa kita tidak hanya untuk kebahagiaan di dunia ini? Kita berdoa kepada Allah sebenarnya meminta agar kelak di akhirat dimuliakan oleh-Nya.
Bagi orangtua, menjadi Muslim yang baik mungkin tidak sulit, karena sudah tahu mana yang benar dan mana yang salah. Walaupun kita terkadang malas untuk mengikuti yang benar, tapi sebenarnya kita tahu bahwa itu adalah yang benar. Bagaimana dengan anak-anak kita?
Jasad Kita, Keturunan Kita
Tidaklah perlu berbicara masalah akhirat. Mari kita berbicara masalah yang benar-benar riil. Yaitu kematian. Setiap orang akan mati.
Pertanyaannya adalah, sudahkah anak-anak Anda siap memandikan dan mengkafani Anda kelak? Siapa nanti yang menurunkan badan Anda ke liang kubur? Pak Modin? Pak Lurah ? Atau pak Carik? Atau seorang polisi dengan pistol di pinggang?
Lihatlah nuansa yang ada di keluarga sendiri, insyaAllah kita akan tahu seperti apa kelak anak-anak kita meilhat jasad kita? Ia akan ngeri karena terlalu banyak melihat film hantu dan zombie atau ia akan mencium dan mengelusnya penuh kasih sayang?
Kita semua sering berdoa meminta Allah agar dikaruniai anak-anak yang sholeh. Di antaranya ada do’a yang berasal dari para Nabi Ibrahim ‘alaihi salaam.

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Robbi hablii minash shoolihiin,” [Ya Rabbku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shaleh]”. (QS. Ash Shaffaat: 100). Ini juga termasuk do’a yang bisa dipanjatkan untuk meminta keturunan, terutama keturunan yang sholeh.
Atau doa Nabi Dzakariya ‘alaihis salaam,

رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ

“Robbi hab lii min ladunka dzurriyyatan thoyyibatan, innaka samii’ud du’aa’” [Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mengdengar doa] (QS. Ali Imron: 38).
Al Qurtubhi rahimahullah berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih menyejukkan mata seorang mukmin selain melihat istri dan keturunannya taat pada Allah ‘azza wa jalla.” Perkataan semacam ini juga dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10/333)

Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendo’akan anak Ummu Sulaim, yaitu Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhuma dengan do’a, "Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480).
Dari Abu Hurairah (ra), berkata: "Telah bersabda Rasulullah SAW: Apabila wafat seorang hamba (manusia) maka terputuslah segala amalannya kecuali 3 perkara: shodaqah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang salih yg mendoakannya." (HR Muslim)
Kenapa doa anak yang sholeh mudah di dengar oleh Allah? Karena ketika ia memandikannya, benar-benar ia "elus" kulit dan wajahnya dengan rasa kasih sayang. Ia menangis mengenang kebaikan-kebaikannya.
Kenapa doa anak yang sholeh mudah dikabulkan oleh Allah? Karena ketika ia menjadi imam shalat jenazah di depan jasad ibunya, ia akan bersungguh-sungguh berdoa dengan melinangkan air matanya. Mengenang kebaikan dan keluhuran orangtuanya. Ia akan sangat dan sangat berharap agar Allah benar-benar memuliakan dan menempatkannya di sisi ke Maha Kemulian-Nya.
Ketika ia menurunkan jasad ayah atau ibunya, ia akan menurunkan dengan penuh perasaan dan pelan. Ia pelankan gerakan tangannya, seolah agar tanah yang keras dan bola tanah itu tidak menyakiti jasad yang sudah terbujur. Ia akan pastikan bahwa orangtuanya benar-benar akan mendapatkan posisi tidur yang sangat nyaman.

Sekali lagi, pastikan bahwa nuansa keluarga Anda adalah mereka yang akan mengurus dan menolong kita, setelah kematian nanti.
Nabi tidak pernah mengajarkan kata terlambat. Jika ada benih di tangan, tanam benih itu segera. Perbaiki diri tidak ada kata terlambat, selama nafas masih di dada, dan darah terus mengalir, serta jantung terus berdetak. Kecewa dan menangis dalam masalah dunia adalah biasa. Yang kita kejar adalah akhirat, sedangkan dunia adalah wasilah atau sarana. Silakan mencoba.!.*

M. Yusuf Efendi. Penulis tinggal di San Fransisco. http://blogku.net
FB/YM/Skype: myusufe

Kamis, 08 Maret 2012

jangan TERBUAI PENAMPILAN lahiriah

Di sebuah bangsal Panti Asih, ada seorang pasien yang secara fisik mungil seperti bayi. Dia hanya berbaring di kursi roda terus-menerus karena memang tidak bisa berdiri dan berjalan. Makan dan minum pun harus disuapi. Setiap kali, dia hanya bisa mengatakan, “Pak ...! Bu ...!”
“Dik ..., hak ..., haakk ...!” bujuk Untung sambil menyodorkan sesendok bubur ke mulutnya.
“Panggil apa Mas? Dik?” tanya perawat yang di samping Untung, yang sedang menunggui anak lain makan siang.
“Lha iya ta? Khan masih kecil! Memangnya harus panggil gimana?” Untung balik bertanya.
“Lha ... dia itu dengan Mas tuaan dia lho!”
“Masak sih?!”
“Sekarang umur Mas berapa?”
“26 tahun!” jawab Untung penuh percaya diri.
“Tambahkan saja umur Mas dengan 12, itu baru sama.”
“Wo, selisih 12 tahun dengan saya?”
Untung sungguh heran. Rasanya tak mungkin kalau dirinya lebih muda 12 tahun dari dia. Kalau dilihat dari penampilannya, mestinya Untung lebih tua 15 tahun.
Kerap kali kita terbuai oleh penampilan lahiriah belaka. Kalau begitu kita akan mudah tertipu. Maka, marilah kita berani masuk ke dalam batin manusia yang terdalam, sebab di sanalah tersimpan segala keaslian dan kesejatian manusia. (Hidup itu Lucu dan Indah)

Perbuatan Tanpa PAMRIH

Beberapa orang bertanya kepada Sang Guru, apa yang dia maksudkan sebagai “perbuatan tanpa pamrih.” Ia menjawab, “Perbuatan yang dicintai dan dilakukan demi perbuatan itu sendiri, tidak demi pengakuan atau keuntungan atau hasil.”
Kemudian ia menceritakan tentang seseorang yang disewa oleh seorang peneliti. Orang itu dibawa ke halaman belakang dan diberi sebuah kapak.
“Apakah kamu melihat batang pohon yang terletak di sana itu? Saya ingin agar kamu memotongnya. Syaratnya, kamu hanya boleh menggunakan bagian punggung dari kapak itu, bukan bagian yang tajam. Kamu akan mendapatkan Rp 1 juta per jam untuk itu.”
Orang itu berpikir bahwa peneliti itu sinting, namun upahnya menggiurkan, maka mulailah ia bekerja.
Dua jam kemudian ia datang dan berkata, “Pak, saya berhenti saja.”
“Ada apa? Bukankah kamu suka bayaran yang akan kamu peroleh? Saya akan melipatgandakan upahmu!”
“Tidak, terima kasih,” kata orang itu. “Bayarannya baik. Tetapi kalau saya memotong kayu, saya harus melihat kepingan-kepingan kayu beterbangan.” (Berbasa-basi Sejenak)

inspirasi : KIOS KEBENARAN

Ketika aku melihat papan nama pada kios itu, hampir-hampir aku tidak percaya pada apa yang kubaca: Kios Kebenaran. Mereka menjual kebenaran di sana!
Gadis penjaga kios bertanya dengan amat sopan: kebenaran macam apa yang ingin kubeli, sebagian kebenaran atau seluruh kebenaran? Tentu saja seluruh kebenaran! Aku tidak perlu menipu diri, mengadakan pembelaan diri atau rasionalisasi lagi. Aku menginginkan kebenaranku: terang, terbuka, penuh, dan utuh. Ia memberi isyarat, agar aku menuju bagian lain dalam kios itu, yang menjual kebenaran yang utuh.
Pemuda penjaga kios yang ada di sana memandangku dengan rasa kasihan dan menunjuk kepada daftar harga.

“Harganya amat tinggi Tuan,” katanya.

“Berapa?” tanyaku mantap, karena ingin mendapat seluruh kebenaran, berapapun harganya.

“Kalau Tuan membelinya,” katanya, “Tuan akan membayarnya dengan kehilangan semua ketenangan dalam seluruh sisa hidup Tuan.”
Aku keluar dari kios itu dengan rasa sedih. Aku mengira bahwa aku dapat memperoleh seluruh kebenaran dengan harga murah. Aku masih belum siap menerima kebenaran. Kadang-kadang aku mendambakan damai dan ketenangan. Aku masih perlu sedikit menipu diri dengan membela dan membenarkan diri. Aku masih ingin berlindung di balik kepercayaan-kepercayaanku yang tak boleh dipertanyakan. (Anthony de Mello)

dongeng Penjual SUKUN goreng

Wanita itu berjualan sukun goreng untuk menghidupi empat anaknya yang masih kecil. Perjuangan hidup yang berat dijalani wanita ini. Suaminya berada di Sumatera menjalankan tugas negara. Saat berjualan sukun itu, ada protes kecil dari Icah, anaknya, "Kenapa kitatidak minta bantuan saja pada Presiden Om Karno, dan Wakil Presiden Om Hatta, serta Om Hen...gky (Hamengku Buwana IX)?" tanya Icah.
"Ayahmu sering mengatakan kepada ibu, agar kita jangan bergantung pada orang lain, Nak. Kalau tidak penting sekali jangan pernah meminjam uang, jangan pernah berutang,” kata ibunya.
"Tapi apa ibu tidak malu? Ayah orang hebat, keluarga ayah dan ibu juga orang-orang hebat," sergah Icah lagi.
"Iya, sayang. Ibu mengerti, tapi dengarkan ya. Yang membuat kita boleh malu adalah kalau kita melakukan hal-hal yang salah, seperti mengambil milik orang lain yang bukan hak kita, atau mengambil uang negara. Itu pencuri namanya. Orang-orang mungkin tidak tahu, tapi Allah tahu," kata Lily, memberi penjelasan pada anak sulungnya itu.
Lily, ibu empat anak itu, tak lain istri Menteri Keuangan pertama Indonesia, Syafruddin Prawiranegara. Nama lengkapnya Teungku Halimah. Pada waktu dialog itu, suaminya menjabat sebagai Presiden PDRI, Pemerintah Darurat Republik Indonesia, ketika Sukarno dan Hatta ditawan Belanda, dan pemerintahan RI jatuh dalam Agresi Militer II Belanda 1948. ("Kisah 207 Hari Syafruddin Prawiranegara Memimpin Indonesia", Memoar Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Akmal Nasery Basral)

Pengaruh Televisi terhadap Perkembangan Anak

Dengan segala potensi yang dimilikinya itu, televisi telah mendatangkan banyak perdebatan yang tidak kunjung berakhir. Bagi orang dewasa, mungkin apa yang ditampilkan oleh televisi itu bukanlah sebuah masalah besar, sebab mereka sudah mampu memilih, memilah dan memahami apa yang ditayangkan di layar televisi. Namun bagaimana dengan anak-anak? 

Dengan segala kepolosan yang dimilikinya, belum tentu mereka mampu menginterpretasikan apa yang mereka saksikan di layar televisi dengan tepat dan benar. Padahal Keith W. Mielke sebagaimana dikutip oleh Arini Hidayati dalam bukunya berjudul ‘Televisi dan Perkembangan Sosial Anak’ mengatakan bahwa:“Masalah paling mendasar bukanlah jumlah jam yang dilewatkan si anak untuk menonton televisi, melainkan program-program yang ia tonton dan bagaimana para orang tua serta guru memanfaatkan program-program ini untuk sedapat mungkin membantu kegiatan belajar mereka.”(1998:74).
Dari kutipan tersebut diatas jelas bahwa yang harus diwaspadai oleh para guru dan orang tua adalah acara apa yang ditonton anak di televisi itu dan bukannya berapa lama anak menonton televisi. Padahal kecenderungan yang ada justru sebaliknya. Orang tua jarang benar-benar memperhatikan apa yang ditonton anak-anaknya dan lebih sering melarang anak-anak agar jangan menonton televisi terlalu lama karena bisa mengganggu jam belajar mereka.
 
Disamping itu, apakah pernah pula terbersit dalam benak orang tua untuk ikut menonton tayangan-tayangan televisi yang diklaim sebagai tayangan untuk anak-anak? Pernahkan orang tua memperhatikan, apakah tayangan untuk anak itu memang sesuai dengan usianya? Padahal disinilah peran orangtua menjadi sangat penting artinya. Orang tualah yang menjadi guru, pembimbing, pendamping dan pendorong pertumbuhan anak yang paling utama. Dari orangtualah anak pertama kali belajar tentang sesuatu kebenaran dan kemudian menanamkan kepercayaan atas kebenaran itu. (Ibid)
 
Sudah menjadi tanggung jawab orang tua pula untuk selalu mendampingi anak-anak dalam menonton televisi, memberikan pengertian dan penjelasan atas apa yang tidak dimengerti oleh anak-anak. Memberikan penjelasan kenapa suatu tindak kekerasan bisa terjadi dan apa akibat dari semua itu.
Orang tua juga harus jeli dalam melihat program-program acara televisi yang ditonton oleh anak. Apakah cocok dengan usianya, apakah bersifat mendidik atau justru malah merusak moral si anak. Mungkin sebagai orang tua, tidak akan kesulitan untuk langsung melarang seorang anak untuk menonton film-film dewasa yang mengandung unsur seks dan kekerasan secara vulgar, karena dengan memandang sepintas lalu saja sudah jelas diketahui bahwa acara tersebut tidak cocok untuk anak. Tetapi pernahkah orangtua mengamati film-film kartun yang kelihatannya memang sudah layak menjadi konsumsi anak-anak? Pernahkah orang tua peduli bahwa berbagai tayangan film kartun Jepang yang mempertontonkan heroisme, seperti film seri Kenji, Dragon Ball dan sebagainya telah menyebabkan seorang anak menjadi seorang yang agresif? Demikian pula dengan tayangan film-film kartun yang penuh romantisme seperti Sailor Moon? Dan bagaimana pula dengan film-film yang lain?
 
Sebuah penelitian menyebutkan bahwa tingkat pornografi pada film kartun anak-anak itu cukup tinggi, dan diantara film-film kartun anak di Asia, film kartun produksi Jepang menempati posisi paling tinggi dalam penayangan unsur pornografi. Sebagai contoh, Film Seri Crayon Sinchan yang sekarang begitu di gemari di Indonesia, ternyata di Jepang sendiri film tersebut tidak diperuntukkan untuk konsumsi anak-anak melainkan untuk konsumsi orang dewasa yang ingin kembali ke masa kanak-kanak. Akibatnya saat ini muncul perdebatan yang cukup seru dalam membahas masalah film seri Crayon Sinchan ini.
Sebuah tulisan di Jawa Pos yang mengetengahkan keprihatinan terhadap film tersebut mengatakan bahwa sosok Sinchan itu tidak cocok untuk menjadi teladan bagi anak-anak. Sinchan sering bertindak kurang ajar dan kekurang ajarannya itu sering mengarah ke masalah seks. Sebagai anak kecil, Sinchan sering bermimpi tentang perempuan-perempuan dengan bikini dan ia pun senang sekali menyingkapkan rok ibunya.
 
Memang dikatakan oleh Joseph T. Klapper bahwa media bukanlah penyebab perubahan satu-satunya melainkan ada faktor-faktor lain yang menengahi (mediating factors). Namun bagaimanapun juga, jika mengacu pada teori efek media maka terdapat teori Belajar, dimana seseorang itu belejar melakukan sesuatu dari media. Seorang anak bisa dengan fasihnya menirukan ucapan atau lagu-lagu yang di dengarnya di televisi. Mereka pun dengan segala kepolosan dan keluguannya sering pula menirukan segala gerak dan tingkah laku tokoh idolanya di televisi. Dengan demikian tidaklah mustahil jika anak-anak pun akan menirukan kenakalan Sinchan dengan segala kekurang ajarannya. Atau menirukan tindakan Superman ketika menumpas kejahatan dengan memukuli anak lain yang dianggapnya sebagai musuh. Dan ini menjadi langkah pembenar setiap anak-anak berbuat sesuatu, yang bisa jadi melanggar norma umum yang ada di tengah masyarakat kita.
Langkah Antisipasi
Bagaimanapun juga kehadiran televisi merupakan sebuah kebutuhan, tidak sekadar sebagai sarana untuk memudahkan kita mengakses setiap informasi tapi juga berperan sebagai sarana penghibur yang mudah untuk kita dapatkan. Tetapi, tetap saja efek negatif selalu ada dan ini perlu untuk diantisipasi secara serius. Apalagi kalau yang terkena dampaknya adalah anak-anak yang notabene mereka akan menjadi iron stock di masa datang.
Secara khusus penulis berharap orang tua yang secara langsung berhubungan dan berkaitan dengan pengaruh televisi terhadap anak-anak bisa mengambil langkah-langkah nyata. Walaupun tidak menutup kemungkinan memberikan alternatif solusi terhadap pihak terkait seperti pihak media televisi dan para pemerhati media secara umum. Pertama, jelas perlu ada sosialisasi secara massif kepada para orang tua tentang bahaya program yang ada di televisi pada setiap media yang ada, termasuk koran ini dan juga diperlukan kewaspadaan yang penuh dengan tidak membiarkan anak-anak menonton televisi dengan bebas. Meskipun label pihak televisi yang diberikan adalah acara untuk anak. Kedua, perlu penjagaan program acara televisi secara langsung dengan cara mendampingi waktu anak-anak menonton televisi dan sekaligus bisa memberi penjelasan saat dibutuhkan. Untuk itu, kesiapan orang tua untuk mendampingi di tengah kesibukan seabrek kegiatan mutlak diperlukan. Ketiga, perlu diupayakan pemberdayaan masyarakat dengan diadakan lembaga kontrol yang bisa memberi masukan dan kajian kritis tentang isi program siaran televisi dan dampak yang ada.
Semoga artikel ini berguna bagi kita semua dalam mendidik putra - putri kita...

Selasa, 06 Maret 2012

Mendengar Pangkal Selamat, Abai Pangkal Celaka

“DEMI Allah andaikan dia berdiri sampai malam, maka aku tidak akan meninggalkannya kecuali untuk shalat.” Begitulah komitmen Umar Radhiyallahu ‘anhu untuk setia mendengarkan taushiah (nasehat) wanita renta di pinggir jalan. Padahal ketika itu Umar adalah seorang khalifah.
Kisah itu berawal ketika Umar keluar masjid bersama al-Jarud al-‘Abdi dan yang lain. Tiba-tiba ada wanita tua di jalan. Umar kemudian mengucapkan salam kepadanya. Wanita itu pun menjawab salamnya.
Dalam riwayat al-Darimi diterangkan bahwa wanita itu kemudian meminta Umar untuk berhenti. Umar pun mendekat dan menundukkan kepalanya demi mendengarkan wanita tersebut berbicara.
Selanjutnya wanita itu memberi wejangan, ”Bertakwalah engkau kepada Allah dalam mengurus rakyat. Ketahuilah, barangsiapa yang takut akan ancaman Allah maka yang jauh (hari akhirat) akan terasa dekat. Barang siapa yang takut akan kematian, maka ia akan khawatir kehilangan kesempatan.”
Para sahabat yang berdiri bersama Umar kemudian bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, engkau telah menghentikan sekian banyak orang (ikut berhenti karena tidak mau mendahului umara) demi wanita renta ini?”
Umar menjawab, ”Tahukah kalian siapa dia? Dia ini adalah wanita yang didengarkan aduannya oleh Allah Ta’ala di atas tujuh lapis langit. Dia adalah Khaulah binti Tsa’labah…,” hingga Umar mengucapkan kalimat pertama tadi. (Ibn ‘Abd al-Bar, al-Isti’ab fi Ma’rifat al-Ashab,II/ 91)
Siapa pun yang mengetahui kisah ini akan semakin kagum kepada Umar. Ia rela menghentikan langkahnya, lalu mendengar dengan seksama petuah wanita itu meski dalam waktu lama. Ini adalah teladan luar biasa yang tidak banyak dilakukan manusia, apalagi orang yang merasa telah menempati posisi terhormat di masyarakat.
Anggapan umum menyatakan bahwa berbicara adalah kehormatan dan mendengar adalah kehinaan, setidaknya di hadapan pembicara tadi. Padahal yang benar bukanlah demikian.
Sikap sabar dalam mendengar seperti itu semestinya menjadi akhlak setiap pribadi yang mengaku umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Pribadi yang mengidam-idamkan ukhuwah dalam iman, kesatuan, kekuatan, kedamaian, hilangnya permusuhan, dan tegaknya peradaban Islam yang agung, otomatis akan mencontoh sikap mulia tersebut.
Mengapa penting sekali membangun sikap tersebut dalam diri kita? Berikut ini alasan mendasarnya.

1. Manusia sejati harus mau mendengar dengan seksama
Rumus ini bukanlah kesimpulan manusia, tetapi kesimpulan Sang Pencipta manusia. Jika demikian, rumusan ini pasti benar, tanpa boleh diragukan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيراً مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf [7]: 179)
Pada ayat ini dengan jelas Allah Ta’ala memberikan syarat untuk menjadi manusia yang sesungguhnya, yakni mutlak harus menjalankan tiga fungsi tersebut yang salah satunya adalah pendengaran.
 
2. Manusia yang baik diukur dari kemauannya mendengar
Satu-satunya rumus untuk menjadi manusia yang baik adalah menaati petunjuk Sang Pencipta yang terangkum dalam wahyu-Nya. Dalam rangka itu mesti ada proses penerimaan informasi mengenai tuntunan tersebut. Tersumbatnya informasi berakibat fatal. Manusia bisa gagal menjadi baik.
Jadi, Allah Yang Maha Bijaksana tidak mungkin menutup pintu informasi tersebut bagi hamba-Nya. Inilah yang diterangkan Allah Ta’ala dalam al-Qur`an:

إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِندَ اللّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لاَ يَعْقِلُونَ
وَلَوْ عَلِمَ اللّهُ فِيهِمْ خَيْراً لَّأسْمَعَهُمْ وَلَوْ أَسْمَعَهُمْ لَتَوَلَّواْ وَّهُم مُّعْرِضُونَ

“Sesungguhnya mahluk bergerak yang bernyawa yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah; orang-orang yang tuli dan bisu yang tidak mengerti apa-apapun. Kalau sekiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar.” (Al-Anfal [8]: 22-23)
 
3. Hamba Allah pasti mau mendengar setiap ucapan baik. 
Yang paling tahu tentang ciri hamba Allah Ta’ala tidak lain adalah Allah Ta’ala sendiri. Setiap pribadi yang menginginkan diri menjadi hamba Zat Yang Maha Baik, ambisi utamanya adalah mengoleksi seluruh kebaikan tanpa mau melewatkannya.
Setiap informasi mengenai peluang kebaikan, baginya adalah temuan paling berharga. Tidak mengherankan bila Allah Ta’ala menyebutkan bahwa sikap ambisius untuk berburu kebaikan dengan menyeleksi secara seksama setiap ucapan adalah ciri pertama kepribadian para hamba-Nya.
 
4.  Manusia berakal pasti lebih banyak mendengar dari pada bicara. 
Satu ciri khas orang yang berakal dinyatakan dengan jelas pada akhir ayat 18 surat Al-Zumar [39],  yaitu lebih banyak mendengar. Tidak ada satu ayat atau Hadis pun yang menerangkan bahwa ciri manusia berakal adalah banyak bicara.
Orang yang berakal lebih banyak diam, merenung, dan berkonsentrasi mengerahkan kekuatan berpikirnya untuk menggali berbagai mutiara hikmah.
Teladan terbaik dalam hal ini tidak lain adalah Rasulullah sendiri. Jabir bin Samurah mensifati Nabi dengan mengatakan, ”Nabi lebih banyak diam dan sedikit tertawa,” (Riwayat Ahmad).  Maka pantaslah bila Allah Ta’ala memberinya keistimewaan berupa jawami’ al-kalim (kata-kata singkat tapi padat makna).
5. Mendengar adalah penghormatan besar kepada pembicara
Inilah akhlak agung yang berujung kepada tumbuhnya rasa persaudaraan, kasih sayang, dan saling menghormati. Bahkan mampu meringankan beban psikologis orang-orang yang terserang depresi, dan terkadang menghilangkannya sama sekali.
Begitu banyak alasan mengapa seorang mukmin harus aktif dan seksama mendengar. Sebaliknya, tak kurang cela bila manusia mengabaikan sikap mulia tersebut.
Kisah karamnya kapal pesiar mewah Titanic pada 14 April 1912 tidak lain bermula dari pengabaian sang kapten, Edward J. Smith untuk mendengar peringatan Frederick Fleet, petugas menara pengintai saat melihat gunung es.
 
6. Ciri utama orang tercela adalah tuli alias tidak mau mendengar. 
Allah Ta’ala, dalam al-Qur`an surat Al-Baqarah [2] ayat 171, mengumpamakan orang-orang yang menyeru kepada orang-orang kafir seperti penggembala yang memanggil binatang ternak. Binatang-binatang itu tak akan mendengar selain seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta. Mereka sama sekali tidak mengerti.
Allah Ta’ala juga memberi sifat kepada orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur`an surat al-An’am [6] ayat 39, laksana orang yang pekak, bisu, dan berada dalam gelap gulita.
Adapun orang-orang munafik, kata Allah Ta’ala dalam Surat al-Baqarah [2] ayat 17-18, seperti orang-orang yang tuli, bisu dan buta. Mereka tidak akan kembali ke jalan yang benar.Wallahu a’lam bish-shawab.*( sumber : Hidayatullah )

Kamis, 01 Maret 2012

Belajar Bersyukur menguatkan Karakter Pribadi ANAK

Bersyukur, bukanlah sekadar ucapan di mulut, melainkan kesadaran dalam hati bahwa potensi/karunia yang diberikan Allah adalah sesuatu yang berharga, sehingga lahirlah sikap-sikap mulia mengiringinya.
Tidak sedikit anak yang begitu cepat bosan dengan benda-benda yang mereka punya dan menyia-nyiakannya tanpa rasa bersalah. Orang tua pun terbagi dua dalam menyikapinya. Sebagian membiarkan hal itu berlanjut dan terus memenuhi keinginan anak berikutnya meski dengan konsekuensi yang sama, namun sebagian lagi berusaha mengubahnya, karena menganggap bahwa hal itu bukanlah kebiasaan khas anak-anak yang pantas untuk dibiarkan apa adanya. Jika orang tua luput memberi mereka sentuhan pengajaran bersyukur, maka sebanyak apapun benda dan karunia yang anak-anak peroleh, mereka tak akan pernah menghargainya.

Sampai anak-anak memasuki usia balita, sebenarnya terjadi proses alami yang besar, yaitu mencerna dan menyerap prinsip-prinsip hidup meski dalam level yang sederhana. Dan banyak di antara kita sering tak menyadari bahwa anak-anak mempelajari semua itu dari kebiasaan hidup orang tuanya.
Tanpa penanaman nilai dengan sengaja, anak-anak bisa menyimpan dan menjadikan karakter ‘tak bersyukur’ hingga masa remaja dan bahkan dewasa mereka. Terlebih saat ini anak-anak berada pada masa bergelut dengan konsumerisme. Serbuan ajaran konsumtif dari televisi membuat pergaulan dengan teman-teman sebaya tak lagi mudah. Mereka ditarik-tarik untuk meniru, saling bersaing dalam kepemilikan benda-benda fisik, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan aktualisasi dan eksistensi diri secara salah kaprah.
Oleh karena itu, manfaatkan setiap momentum bersama anak untuk mengajarkan syukur, terutama dengan contoh dari diri kita sendiri. Obrolan kecil di saat senggang dengan mereka, saat mereka sedang merasa aman ditemani orang tua, bisa bergelayut manja dan bebas bicara, adalah salah satunya. Saat itulah anak-anak bisa diajak mengamati sekitar, mengingat-ingat anugerah yang sudah mereka dapatkan, membandingkannya jika hal itu hilang, dan membandingkannya dengan teman-temannya yang mungkin tidak memilikinya. Ajak mereka ber-’hamdalah’ atas semua karunia itu karena hakikatnya, Dia-lah Allah yang telah memberi karunia tersebut.
Bersyukur, bukanlah sekadar ucapan di mulut, melainkan kesadaran dalam hati bahwa potensi/karunia yang diberikan Allah adalah sesuatu yang berharga. Dan hal itu sering memberi keajaiban. Kreativitas bahkan bisa tergali karena manusia tidak mempedulikan kekurangan yang mereka miliki, melainkan fokus pada kekuatan/potensi yang mereka punya dan menggalinya dengan gigih. Itulah tanda syukur.
Bersyukur juga bisa menahan potensi jiwa yang serakah dan ingin menguasai segalanya. Dari situlah lahir empati dan peduli sesama. Orang-orang yang besyukur akan selalu ingin berbagi tanpa pamrih, karena mereka merasa karunia Allah itu berlimpah dan jadi tak berguna jika hanya dinikmati sendirian.

Pengeluh, penggerutu, ingin serba cepat dan instan bukanlah sikap seorang yang pandai bersyukur. Dalam teori-teori kepribadian modern pun sudah banyak diungkapkan bagaimana sikap-sikap negatif malah membunuh kreativitas dan menghambat kemajuan.
Jadi, mari sama-sama membekali anak dari rumah mentalitas bersyukur, agar mereka tangguh dan mandiri menghadapi tantangan sekitar yang luar biasa besarnya. Bersyukur adalah kekuatan manusia menghadapi bisikan negatif yang bersumber syaitan. Karena itulah ‘bersyukur’ merupakan pelajaran penting setiap hari yang tak boleh dilewatkan.
Dalam Q.S Ibrahim : 7, Allah SWT berfirman:
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.

Kisah Seorang Yahudi yang Mengislamkan Jutaan Orang

DI SUATU tempat di Prancis sekitar lima puluh tahun yang lalu, ada seorang berkebangsaan Turki berumur 50 tahun bernama Ibrahim. Ia adalah orangtua yang menjual makanan di sebuah toko makanan. Toko tersebut terletak di sebuah apartemen di mana salah satu penghuninya adalah keluarga Yahudi yang memiliki seorang anak bernama "Jad" berumur 7 tahun.

Jad, si anak Yahudi Hampir setiap hari mendatangi toko tempat di mana Ibrahim bekerja untuk membeli kebutuhan rumah. Setiap kali hendak keluar dari toko –dan Ibrahim dianggapnya lengah– Jad selalu mengambil sepotong cokelat milik Ibrahim tanpa seizinnya.

Pada suatu hari usai belanja, Jad lupa tidak mengambil cokelat ketika mau keluar, kemudian tiba-tiba Ibrahim memanggilnya dan memberitahu kalau ia lupa mengambil sepotong cokelat sebagaimana kebiasaannya. Jad kaget, karena ia mengira bahwa Ibrahim tidak mengetahui apa yang ia lakukan selama ini. Ia pun segera meminta maaf dan takut jika saja Ibrahim melaporkan perbuatannya tersebut kepada orangtuanya.

"Tidak apa, yang penting kamu berjanji untuk tidak mengambil sesuatu tanpa izin, dan setiap saat kamu mau keluar dari sini, ambillah sepotong cokelat, itu adalah milikmu”, ujar Jad sebagai tanda persetujun.

Waktu berlalu, tahun pun berganti dan Ibrahim yang seorang Muslim kini menjadi layaknya seorang ayah dan teman akrab bagi Jad si anak Yahudi

Sudah menjadi kebiasaan Jad saat menghadapi masalah, ia selalu datang dan berkonsultasi kepada Ibrahim. Dan setiap kali Jad selesai bercerita, Ibrahim selalu mengambil sebuah buku dari laci, memberikannya kepada Jad dan kemudian menyuruhnya untuk membukanya secara acak. Setelah Jad membukanya, kemudian Ibrahim membaca dua lembar darinya, menutupnya dan mulai memberikan nasehat dan solusi dari permasalahan Jad.

Beberapa tahun pun berlalu dan begitulah hari-hari yang dilalui Jad bersama Ibrahim, seorang Muslim Turki yang tua dan tidak berpendidikan tinggi.

14 Tahun Berlalu

Jad kini telah menjadi seorang pemuda gagah dan berumur 24 tahun, sedangkan Ibrahim saat itu berumur 67 tahun.

Alkisah, Ibrahim akhirnya meninggal, namun sebelum wafat ia telah menyimpan sebuah kotak yang dititipkan kepada anak-anaknya di mana di dalam kotak tersebut ia letakkan sebuah buku yang selalu ia baca setiap kali Jad berkonsultasi kepadanya. Ibrahim berwasiat agar anak-anaknya nanti memberikan buku tersebut sebagai hadiah untuk Jad, seorang pemuda Yahudi.

Jad baru mengetahui wafatnya Ibrahim ketika putranya menyampaikan wasiat untuk memberikan sebuah kotak. Jad pun merasa tergoncang dan sangat bersedih dengan berita tersebut, karena Ibrahim-lah yang selama ini memberikan solusi dari semua permasalahannya,  dan Ibrahim lah satu-satunya teman sejati baginya.

Hari-haripun berlalu, Setiap kali dirundung masalah, Jad selalu teringat Ibrahim. Kini ia hanya meninggalkan sebuah kotak. Kotak yang selalu ia buka, di dalamnya tersimpan sebuah buku yang dulu selalu dibaca Ibrahim setiap kali ia mendatanginya.

Jad lalu mencoba membuka lembaran-lembaran buku itu, akan tetapi kitab itu berisikan tulisan berbahasa Arab sedangkan ia tidak bisa membacanya. Kemudian ia pergi ke salah seorang temannya yang berkebangsaan Tunisia dan memintanya untuk membacakan dua lembar dari kitab tersebut. Persis sebagaimana kebiasaan Ibrahim dahulu yang selalu memintanya membuka lembaran kitab itu dengan acak saat ia datang berkonsultasi.

Teman Tunisia tersebut kemudian membacakan dan menerangkan makna dari dua lembar yang telah ia tunjukkan. Dan ternyata, apa yang dibaca oleh temannya itu, mengena persis ke dalam permasalahan yang dialami Jad kala itu. Lalu Jad bercerita mengenai permasalahan yang tengah menimpanya, Kemudian teman Tunisianya itu memberikan solusi kepadanya sesuai apa yang ia baca dari kitab tersebut.

Jad pun terhenyak kaget, kemudian dengan penuh rasa penasaran ini bertanya, "Buku apa ini?"
Ia menjawab, "Ini adalah Al-Qur'an, kitab sucinya orang Islam!"

Jad sedikit tak percaya, sekaligus merasa takjub,

Jad lalu kembali bertanya, "Bagaimana caranya menjadi seorang muslim?"

Temannya menjawab, "Mengucapkan syahadat dan mengikuti syariat!"

Setelah itu, dan tanpa ada rasa ragu, Jad lalu mengucapkan Syahadat, ia pun kini memeluk agama Islam!

Islamkan 6 juta orang
Kini Jad sudah menjadi seorang Muslim, kemudian ia mengganti namanya menjadi Jadullah Al-Qur'ani sebagai rasa takdzim atas kitab Al-Qur'an yang begitu istimewa dan mampu menjawab seluruh problema hidupnya selama ini. Dan sejak saat itulah ia memutuskan akan menghabiskan sisa hidupnya untuk mengabdi menyebarkan ajaran Al-Qur'an.

Mulailah Jadullah mempelajari Al-Qur'an serta memahami isinya, dilanjutkan dengan berdakwah di Eropa hingga berhasil mengislamkan enam ribu Yahudi dan Nasrani.

Suatu hari, Jadullah membuka lembaran-lembaran Al-Qur'an hadiah dari Ibrahim itu. Tiba-tiba ia mendapati sebuah lembaran bergambarkan peta dunia. Pada saat matanya tertuju pada gambar benua Afrika, nampak di atasnya tertera tanda tangan Ibrahim dan dibawah tanda tangan itu tertuliskan ayat :

((اُدْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ...!!))

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik!!...” [QS. An-Nahl; 125]

Iapun yakin bahwa ini adalah wasiat dari Ibrahim dan ia memutuskan untuk melaksanakannya.

Beberapa waktu kemudian Jadullah meninggalkan Eropa dan pergi berdakwah ke negara-negara Afrika yang di antaranya adalah Kenya, Sudan bagian selatan (yang mayoritas penduduknya adalah Nasrani), Uganda serta negara-negara sekitarnya. Jadullah berhasil mengislamkan lebih dari 6.000.000 (enam juta) orang dari suku Zulu, ini baru satu suku, belum dengan suku-suku lainnya.

Akhir Hayat Jadullah

Jadullah Al-Qur'ani, seorang Muslim sejati, da'i hakiki, menghabiskan umur 30 tahun sejak keislamannya untuk berdakwah di negara-negara Afrika yang gersang dan berhasil mengislamkan jutaan orang.

Jadullah wafat pada tahun 2003 yang sebelumnya sempat sakit. Kala itu beliau berumur 45 tahun, beliau wafat dalam masa-masa berdakwah.

Kisah pun belum selesai

Ibu Jadullah Al-Qur'ani adalah seorang wanita Yahudi yang fanatik, ia adalah wanita berpendidikan dan dosen di salah satu perguruan tinggi. Ibunya baru memeluk Islam pada tahun 2005, dua tahun sepeninggal Jadullah yaitu saat berumur 70 tahun.

Sang ibu bercerita bahwa –saat putranya masih hidup– ia menghabiskan waktu selama 30 tahun berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan putranya agar kembali menjadi Yahudi dengan berbagai macam cara, dengan segenap pengalaman, kemapanan ilmu dan kemampuannya, akan tetapi ia tidak dapat mempengaruhi putranya untuk kembali menjadi Yahudi. Sedangkan Ibrahim, seorang Muslim tua yang tidak berpendidikan tinggi, mampu melunakkan hatinya untuk memeluk Islam, hal ini tidak lain karena Islamlah satu-satunya agama yang benar.

Yang menjadi pertanyaannya, "Mengapa Jad si anak Yahudi memeluk Islam?"

Jadullah Al-Qur'ani bercerita bahwa Ibrahim yang ia kenal selama 17 tahun tidak pernah memanggilnya dengan kata-kata: "Hai orang kafir!" atau "Hai Yahudi!" bahkan Ibrahim tidak pernah untuk sekedar berucap: "Masuklah agama Islam!"

Bayangkan, selama 17 tahun Ibrahim tidak pernah sekalipun mengajarinya tentang agama, tentang Islam ataupun tentang Yahudi. Seorang tua Muslim sederhana itu tak pernah mengajaknya diskusi masalah agama. Akan tetapi ia tahu bagaimana menuntun hati seorang anak kecil agar terikat dengan akhlak Al-Qur’an.

Kemudian dari kesaksian Dr. Shafwat Hijazi (salah seorang dai kondang Mesir) yang suatu saat pernah mengikuti sebuah seminar di London dalam membahas problematika Darfur serta solusi penanganan dari kristenisasi, beliau berjumpa dengan salah satu pimpinan suku Zolo. Saat ditanya apakah ia memeluk Islam melalui Jadullah Al-Qur’ani?, ia menjawab; tidak! namun ia memeluk Islam melalui orang yang diislamkan oleh Jadullah Al-Qur'ani.

Subhanallah, akan ada berapa banyak lagi orang yang akan masuk Islam melalui orang-orang yang diislamkan oleh Jadullah Al-Qur’ani. Dan Jadullah Al-Qur'ani sendiri memeluk Islam melalui tangan seorang muslim tua berkebangsaan Turki yang tidak berpendidikan tinggi, namun memiliki akhlak yang jauh dan jauh lebih luhur dan suci.

Begitulah hikayat tentang Jadullah Al-Qur'ani, kisah ini merupakan kisah nyata yang penulis dapatkan kemudian penulis terjemahkan dari catatan Almarhum Syeikh Imad Iffat yang dijuluki sebagai "Syaikh Kaum Revolusioner Mesir". Beliau adalah seorang ulama Al-Azhar dan anggota Lembaga Fatwa Mesir yang ditembak syahid dalam sebuah insiden di Kairo pada hari Jumat, 16 Desember 2011 silam.

Kisah nyata ini layak untuk kita renungi bersama di masa-masa penuh fitnah seperti ini. Di saat banyak orang yang sudah tidak mengindahkan lagi cara dakwah Qur'ani. Mudah mengkafirkan, fasih mencaci, mengklaim sesat, menyatakan bid'ah, melaknat, memfitnah, padahal mereka adalah sesama muslim.

Dulu da'i-da'i kita telah berjuang mati-matian menyebarkan Tauhid dan mengislamkan orang-orang kafir, namun kenapa sekarang orang yang sudah Islam malah justru dikafir-kafirkan dan dituduh syirik? Bukankah kita hanya diwajibkan menghukumi sesuatu dari yang tampak saja? Sedangkan masalah batin biarkan Allah yang menghukumi nanti. Kita sama sekali tidak diperintahkan untuk membelah dada setiap manusia agar mengetahui kadar iman yang dimiliki setiap orang.

Mari kita renungi kembali surat Thaha ayat 44 yaitu Perintah Allah swt. kepada Nabi Musa dan Harun –'alaihimassalam– saat mereka akan pergi mendakwahi fir'aun. Allah berfirman,

((فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى))

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut.”

Bayangkan, Fir'aun yang jelas-jelas kafir laknatullah, namun saat dakwah dengan orang seperti ia pun harus tetap dengan kata-kata yang lemah lembut, tanpa menyebut dia Kafir Laknatullah! Lalu apakah kita yang hidup di dunia sekarang ini ada yang lebih Islam dari Nabi Musa dan Nabi Harun? Atau adakah orang yang saat ini lebih kafir dari Fir'aun, di mana Al-Qur'an pun merekam kekafirannya hingga kini?

Lantas alasan apa bagi kita untuk tidak menggunakan dahwah dengan metode Al-Qur'an? Yaitu dengan Hikmah, Nasehat yang baik, dan Diskusi menggunakan argumen yang kuat namun tetap sopan dan santun?

Maka dalam dakwah yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana cara kita agar mudah menyampaikan kebenaran Islam ini.
Oleh karenanya, jika sekarang kita dapati ada orang yang kafir, bisa jadi di akhir hayatnya Allah akan memberi hidayah kepadanya sehingga ia masuk Islam.
Bukankah Umar bin Khattab dulu juga pernah memusuhi Rasulullah? Namun Allah berkehendak lain, sehingga Umar pun mendapat hidayah dan akhirnya memeluk Islam. Lalu jika sekarang ada orang muslim, bisa jadi di akhir hayatnya Allah mencabut hidayah darinya sehingga ia mati dalam keadaan kafir. Na'udzubillah tsumma Na'udzubillahi min Dzalik.

Karena sesungguhnya dosa pertama yang dilakukan iblis adalah sombong dan angkuh serta merasa diri sendiri paling suci sehingga tak mau menerima kebenaran Allah dengan sujud hormat kepada nabi Adam –'alaihissalam–. Oleh karena itu, bisa jadi Allah mencabut hidayah dari seorang muslim yang tinggi hati lalu memberikannya kepada seorang kafir yang rendah hati. Segalanya tiada yang mustahil bagi Allah!

Marilah kita pertahankan akidah Islam yang telah kita peluk ini, dan jangan pernah mencibir ataupun "menggerogoti" akidah orang lain yang juga telah memeluk Islam serta bertauhid. Kita adalah saudara seislam seagama. Saling mengingatkan adalah baik, saling melindungi akidah sesama muslim adalah baik. Marilah kita senantiasa berjuang bahu-membahu demi perkara yang baik-baik saja. Wallahu Ta'ala A'la Wa A'lam Bis-Shawab.*

Buya Hamka , Ulama Masyhur yang Dituduh “Penghianat” Rezim Soekarno

BULAN Februari ini, adalah hari kelahiran seorang tokoh ulama besar Nusantara yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan sebutan HAMKA. Beliau dilahirkan di Maninjau Sumatera Barat pada 17 Februari 1908. Jadi sehingga kini sudah seabad lebih lamanya. Untuk itu bagi kita generasi sekarang ini perlu mengenal lebih dekat sosok ulama besar tersebut sekaligus mengenang jasa yang telah diberikan kepada bangsa dan agama di tanah air.

Ayah Hamka adalah H. Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul seorang tokoh ulama Sumatera. Dikenal sebagai pelopor “golongan muda”, murid Syekh Ahmad Khatib yang bermukim di Makkah. Ibunya bernama Syafiyah istri kedua ayahnya.

Pendidikan awal buya Hamka di sekolah Diniyah 1916 kemudian di sekolah Sumatera Thawalib 1918. Diantara gurunya disana ialah Zainuddin Labai El Yunusi, H.Rasul Hamidi, H. Jalaluddin Thaib, Angku Mudo Abdulhamid dan lain-lain. Selain itu Hamka mengaji kepada Syekh Ibrahim Musa Parabek pada tahun 1922.

Beliau belajar Tafsir Al Qur'an dan Fikih dengan kitab Al Muhazzab dari Angku Mudo Abdulhamid. (Ayahku hal 318) Setelah itu beliau merantau ke Jawa. Disana beliau belajar kepada HOS. Cokroaminoto tentang islam dan sosialisme, kepada Soeryopranoto tentang sosiologi dan kepada H. Fakhruddin dalam ilmu Tauhid. Selanjutnya beliau banyak belajar kepada A.R.St. Mansur.

Guru yang memiliki pengaruh besar pada dirinya ialah ayahnya sendiri dan A.R.St. Mansur yang tak lain adalah iparnya. Dari ayahnya Hamka belajar langsung tentang Ushul Fiqh dan Mantiq. Selama enam bulan beliau belajar kepada ayahnya di kutub khanah sampai kedua ilmu tersebut beliau kuasai. Alasan ayahnya mengajarkan dua ilmu tersebut ialah kegemaran Hamka berfilsafat dan membawa sejarah ketika berceramah, sehingga dengan menguasai kedua ilmu tersebut tidak dikuatirkan akan tersesat.

Buya Hamka banyak berperan dalam gerakan dakwah. Beliau tidak memaknai dakwah secara sempit. Banyak bidang yang telah beliau lakukan dalam memperjuangkan agama Islam.
Dalam bidang organisasi beliau aktif di Muhammadiyah. Dalam bidang pendidikan selama hidupnya beliau banyak mengajar kepada masyarakat. Baik di sekolah, masjid, surau, universitas dan lainnya. Ketika mudanya beliau pernah mendirikan sekolah Tarbiyatul Muballighin sekaligus menjadi direkturnya. Beliau juga mengajar masyarakat Indonesia melalui kuliah di Radio Republik Indonesia (RRI)  selama lebih dari tiga puluh tahun.

Dalam bidang keilmuan dan penulisan beliau telah menulis buku-buku dari berbagai bidang. Mulai dari pendidikan, tasawuf, filsafat, tafsir, akhlak, sejarah roman dan lainnya. Diantara judul-judul bukunya yang banyak tersebut antara lain: Tasauf Modern, Filsafat Hidup, Lembaga hidup, Tafsir Al Azhar, Lembaga Budi, Ayahku, Sejarah Umat Islam, Revolusi Agama, Revolusi Pemikiran, Studi Islam, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Dibawah Lindungan Ka’bah dan Pandangan Hidup Muslim.
Metode dakwah yang dibawakan oleh Buya Hamka sangat bijaksana sehingga diterima banyak kalangan. Misalnya beliau menulis roman islami yang pada masa itu sangat “aneh” bagi seorang ulama menulis roman. Namun cara tersebut justru sangat digemari masyarakat.
Beliau sangat mahir dalam menulis dan bahasanya sangat sederhana sehingga mudah difahami. Meskipun menjelaskan sesuatu pembahasan yang sulit seperti filsafat. Namun melalui sentuhannya filsafat menjadi mudah dimengerti oleh banyak orang. Beliau juga diantara tokoh yang yang turut meningkatkan seni kesusasteraan di tanah air. kemahirannya dalam menulis diawali dengan menulis ringkasan pidato dan diskusi bersama rekan-rekannya pada masa mudanya.

Dalam bidang penerbitan beliau menjadi editor sekaligus pimpinan majalah Pedoman Manyarakat dan Panji Masyarakat (Panjimas). Melalui majalah tersebut beliau menyampaikan pemikirannya.

Disegani Dunia

Atas keluasan ilmu yang dimiliki serta kontribusinya yang besar dalam berdakwah di Indonesia beliau di anugerahi Doktor Honoris  Causa dari Universitas Al Azhar Kairo pada tahun 1958. Surat pengakuan gelar tersebut ditanda-tangani langsung oleh Syeikh Al Azhar ketika itu yaitu Syeikh Mahmud Syaltut. Hal ini mengulang sejarah ayahnya yang diberikan gelar yang sama pada tahun 1926 ketika kongres yang dianjurkan oleh ulama Al Azhar. Ketika itu ayahnya bersama H. Abdulllah Ahmad, masing-masing mendapat gelar kehormatan melalui kesepakatan ulama yang hadir.

Hamka juga memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) pada tahun 1974. Pada tahun 1977 beliau diangkat sebagai Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) kemudian mengundurkan diri pada tahun 1981 dikarenakan tekanan pemerintah yang tidak sesuai dengan pendiriannya.

Pada zaman Soekarno, beliau pernah dipenjarakan selama dua tahun karena dituduh “pengkhianat” dan menjual negara kepada Malaysia. Tentu beliau sangat sakit hati atas tuduhan keji rezim yang pernah bertangan besi kepada tokoh-tokoh Islam tersebut. Namun beliau bersabar dan memanfaatkan waktu tersebut untuk menyelesaikan karyanya  yang monumental bernama Tafsir Al Azhar (30 jilid).

Selama hidupnya beliau menjadi panutan masyarakat dan tempat banyak orang bertanya tentang masalah agama. Atas usaha beliaulah masjid Al Azhar selesai dibangun dan beliau menjadi imam masjid tersebut hingga akhir hayatnya.

Beliau menutup usia pada 24 Juli 1981. Dengan meninggalkan warisan karya-karya penting yang masih selalu dipelajari orang sehingga hari ini. Ketokohan beliau bukan saja diakui oleh masyarakat Indonesia namun di Malaysia dan Singapura kedudukan beliau dangat dihormati. Mereka juga turut bangga kepada buya Hamka. Buku-buku karangan beliau banyak dipelajari dan diterbitkan di kedua Negara tersebut. Di Singapura misalnya, maka Pustaka Nasional yang banyak menerbitkan. Di Malaysia terdapat beberapa tesis dalam bahasa Melayu, Arab atau pun Inggris yang membahas pandangan beliau dalam berbagai disiplin ilmu.

Demikianlah sedikit kisah tentang sosok buya Hamka. Tujuan ditulisnya kisah ini, selain untuk memperingati masa kelahirannya juga untuk memberikan semangat kepada generasi baru muslim di Negara ini agar mengikuti jejak beliau. Dengan cara menguasai ilmu serta beramal untuk memajukan bangsa dan agama.*/Hambari Nursalam, Mahasiswa International Islamic University Malaysia

Waspadai Anak Anda Jadi Shaleh!

Oleh: Rizal Aldino

SALAH satu senjata yang paling penting bagi negara yang terlibat dalam Perang Dunia II adalah propaganda. Dan mungkin, media yang paling cocok untuk itu adalah gedung bioskop, karena daya tarik visualnya yang menimbulkan efek dramatis.

Perang Dunia II mengubah status film dokumenter ke tingkat yang lebih tinggi. Pemerintah Amerika Serikat (AS) bahkan meminta bantuan industri film Hollywood untuk memproduksi film-film (propaganda) yang mendukung perang. Film-film dokumenter juga menjadi semakin populer di masyarakat.
Pakar ilmu propaganda film, Prof Dr Richard Taylor mengatakan, “Propaganda adalah usaha untuk memengaruhi opini publik (penonton) melalui transmisi ide-ide dan nilai-nilai.”

Apa yang membedakan propaganda dari kegiatan sosial-politik lainnya, ujar Taylor, adalah bahwa ia mengejar tujuan, dan arah politik. Terlepas dari bagaimana sebuah karya seni bisa berpengaruh, hanya berfungsi sebagai propaganda jika mengejar suatu tujuan, atau jika oleh propagandis diletakkan dalam konteks yang melayani tujuan.
Ketika perang pecah di Eropa pada tahun 1939, AS menjadi satu-satunya kekuatan besar tanpa agen propaganda. Namun, semuanya berubah setelah peristiwa Pearl Harbor. Maka berdirilah Office of Coordinator of Information (Kantor Koordinator Informasi) sebagai perantara intelijen dan propaganda pemerintah AS.

Sepuluh hari setelah peristiwa Pearl Harbor, 17 Desember 1941, Roosevelt menunjuk Lowell Mellett, mantan editor dari Washington Daily News sebagai koordinator film pemerintah, yang bertindak sebagai penghubung antara pemerintah dan industri film Hollywood. Begitulah akhirnya terjadi perkawinan industri film dengan politik dan kekuasaan yang berujung melahirkan propaganda.

Propaganda, Intelijen dan Islam
Perkembangan industri film Hollywood yang telah melesat jauh, pada akhirnya juga telah melahirkan semangat kebencian dan fitnah terhadap Islam.

Di radio-radio yang anti Arab, banyak terdengar kata-kata seperti, “Orang-orang Arab mencintai Diktator” atau olok-olok seperti orang Arab sebagai “joki unta”, atau juga “kaum fasis-Islam” dan lain-lain.
Seorang pakar komunikasi massa dari Southern Illinois University, Professor Jack G. Shaheen mengatakan, banyak orang begitu terpengaruh oleh pesan dari film-film Hollywood yang telah memfitnah dunia Arab dan Islam. Menurut Jack Shaheen, televisi telah memberikan sebutan kepada orang Arab dengan citra yang selalu buruk sehingga senantiasa diidentikkan sebagai “miliarder” yang hura-hura, “pengebom”, atau hanya “penari perut.”

Dalam buku berjudul “Guilty: Hollywood Verdict on Arabs after 9/11”, Jack Shaheen, mengungkapkan bahwa industri film Hollywood telah membentuk pola pikir masyarakat AS terhadap dunia Arab.
Cendekiawan Muslim, Ziauddin Sardar bahkan lebih memperjelas, “pencucian otak anti Islam” seperti bukan sebuah hal yang baru. “Mulai dari jaman Voltaire hingga tahun 1980, Barat selalu membenarkan anggapan bahwa Islam tidak pernah menghasilkan hal-hal berharga dalam hal filosofi, ilmu pengetahuan dan pembelajaran,” ujarnya.

Pencitraan seperti ini terus berlanjut hingga kini, bahkan berkembang jauh lebih modern dan canggih. Masalahnya, pola seperti itu saat ini didukung oleh institusi kekuasaan dan negara. Sejarah juga mencatat bahwa pola seperti ini, kini digunakan juga oleh aparat intelijen.

Dalam sebuah wawancara dengan situs Kristen, Reformata, (7 Juni 2011), Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai mengatakan, “Jelas tujuan mereka adalah negara Islam, khilafah dan penegakan syariat Islam.”

Jika pernyataan itu benar, maka ada pertanyaan besar untuk Mbai. Apakah ia sadar dengan apa yang diucapkannya? Apakah beliau bisa membedakan antara Islam sebagai bangunan besar dengan bagian-bagian Islam itu sendiri yang di dalamnya ada; syariat Islam, perintah jihad, dan lain-lain? Penulis berhusnudzon, mudah-mudahan yang bersangkutan tidak paham.

Syariat Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Dari bangun tidur hingga buang hajat. Jika seorang mengaku Muslim, maka ia wajib mengikuti aturan ini. Syariat mengatur khitan, akad nikah, merawat jenazah, dan bersuci yang benar. Itulah yang membedakan Islam dengan agama lain. Sungguh sangat berbahaya, jika ada aparat negara tak bisa membedakan masalah ini dan bicara sembarangan.

Sebelumnya, April 2011, sebuah LSM asing bahkan mendesak pemerintah ikut mengawasi sekolah-sekolah. Sidney Jones, pengamat dari International Crisis Group (ICG) meminta pemerintah mengawasi kegiatan ekstrakurikuler seperti kerohanian Islam (Rohis).

Jika yang mendesak pengawasan ini atau yang mengatakan konsep Islam salah tersebut pihak asing, atau pencitraan seperti ini dilakukan oleh Hollywood atau Pentagon bisa kita maklumi. Namun, jika ini dilakukan oleh orang yang kini berkuasa memegang BNPT, maka sungguh berbahaya.
Pernyataannya yang mengatakan tujuan kelompok radikal adalah negara Islam, khilafah dan penegakan syariat Islam, adalah pernyataan gebyah uyah (Jawa: memukul rata, -red), betapa sesungguhnya ia tak begitu mengerti Islam.

Tidak semua orang Islam berpikiran radikal dan suka tindakan teror. Dan tak semua yang berpikiran radikal pasti membunuhi orang. Logika seperti ini sama dengan logika tidak semua polisi dan aparat sebagai backing bandar judi dan narkoba. Jika ada 100 oknum polisi menjadi backing bandar narkoba, apa bisa institusi Polri didesak untuk dibubarkan, setidaknya diprioritaskan untuk diawasi intelijen? Bisa tersinggung Kapolri. Begitu juga dengan penyebutan istilah-istilah dalam Islam.

Lagi pula, mengapa seringkali Islam seolah-olah terus dihadapkan sebagai musuh negara? Kurang apalagi dengan Islam jika umat boleh menagih sejarah.

Jika “Sejarah Babad Tanah Jawi” masih bisa dipercaya, maka sekitar 6000 orang lebih -terdiri atas para ulama dan keluarganya- menjadi korban kekejaman Amangkurat I.

Siapa pun tahu, para pejuang kemerdekaan yang berada di garda depan mempertahankan negara, dan yang tubuhnya berdarah-darah untuk negeri ini juga kaum Muslim. Ada Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, mereka semua adalah ulama, bukan preman. Tapi mengapa saat ini umat Islam dihadapkan dengan negara dan segala hal berbau Islam dicurigai?

Jika negara menggunakan cara pandang seperti halnya Ansyaad Mbai, maka sama halnya negara melarang umat Islam percaya agamanya. Sama halnya ingin mengatakan kepada semua orang tua: “Awas! Jangan sampai anak-anak Anda menjadi orang yang saleh atau salihah.” Maka, mungkinkah negara lebih percaya preman jalanan untuk mengurus negeri ini? Wallahu a’lam.
Penulis mantan aktivis masjid kampus, peminat masalah sosial

FPI, Televisi dan Dajjalisme Informasi

Mengapa koran dan TV bernafsu 'memberangus' FPI? boleh jadi karena ada huruf "I" (Islam) di belakang FPI

Oleh: Suharsono

SENIN siang, 9 Juni 2008, lebih dari 9000 umat Islam "mengepung" Istana Negara menuntut Ahmadiyah dibubarkan. Massa umat Islam se Jabodetabek berpakaian putih-putih ini juga meminta Habib Rizieq Shihab, pimpinan FPI dibebaskan.

Usai dari Istana Negara, massa menuju Polda Metro Jaya guna mengunjungi Ketua FPI, Habib Rizieq. Aksi damai bertema "Sejuta Umat" ini dihadiri puluhan ulama, tokoh Islam, aktivis Islam dan para habaib.

Dalam sebuah orasi, KH Nur Muhammad Iskandar, Pimpinan Pondok Pesantren Assidiqiyah mengatakan, jika tak ingin dianggap sebagai kepanjangan tangan Amerika, maka pemerintah harus segera membubarkan Ahmadiyah. "Jika tidak membubarkan Ahmadiyah, Presiden akan bertanggungjawab di hadapan mahkamah Allah, "ujar Kiai Nur.

Setelah orasi, sekitar sepuluh ulama dan kiai menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Meski hanya ditemui juru bicaranya, Andi Malarangeng, yang tak lain kakak kandung Rizal Malarangeng, anggota Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang juga penyiar Metro TV.

Tapi jangan kecewa, sebab ribuan massa itu bukan berita besar. Karenanya, televisi tak perlu menyiarkannya secara langsung –apalagi harus-- menayangkan gambar secara berulang-ulang. Suara umat Islam tak terlalu penting!

Bandingkan dengan berita sebelumnya, selang beberapa jam kerusuhan Monas,  1 Juni 2008,  seluruh media massa –terutama TV—seolah serempak. Meminjam bahasa Widji Tukul, "hanya satu kata, lawan FPI!".  Dalam waktu sekejap, opini masyarakat yang tadinya meminta polisi menindak FPI tiba-tiba melebar meminta organisasi Islam yang dijuluki kalangan AKKBB sebagai "preman berjubah" layak dibubarkan.

Selama beberapa hari, TV menayangkan berulang kali anggota FPI mengejar dan memukul anggota AKKBB, memberikan kesan kuat "Inilah, sebuah kelompok atas nama agama, menggunakan baju dan pakaian Muslim, yang penyuka kekerasan!"

Entah sengaja atau tidak, agar lebih dramatis, ditayangkan pula wajah pria yang disebut-sebut kiai Nahdhatul Ulama (NU), KH Maman Imanul Haq (yang tak lain kiai muda pendukung AKKBB dan bukan representasi PBNU). Dia disebutkan mengalami memar di sekujur badan, sobek di dagu dan lain-lain. Ini menunjukkan, bahwa kiai NU pun ikut menjadi korban. Meski kemudian Ketua PBNU KH. Hasyim Muzadi marah dan tak ingin melibatkan NU (yang direpresentasikan dalam PBNU) terlibat dalam masalah ini.

Tapi apa lacur? Kesan pemirsa yang diciptakan TV sudah bulat. FPI "menganiaya" ulama NU! Esoknya, ormas-ormas onderbow NU seperti: PMII, GP Anshor dan Garda Bangsa marah. Alih-alih melawan kekerasan, mereka justru membalasnya dengan kekerasan serupa kepada FPI di beberapa daerah. Lengkap sudah. Balas membalas atas hasil karya berita televisi. 

Di hari berikutnya, TV seolah membuat suasana ibu kota dan Indonesia mencekam. Koran Kompas, dengan tulisan cukup menyeramkan. “Negara Tidak Boleh Kalah”, menanggapi desakan media massa nasional agar bersikap tegas pada FPI yang bentrok dalam peristiwa Monas dengan kelompok massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB).

“Saya minta hukum ditegakkan, pelaku-pelaku diproses secara hukum dan berikan sanksi hukum secara tepat. Negara tidak boleh kalah dengan perilaku-perilaku kekerasan,” ujar Presiden dalam jumpa pers di Kantor Presiden, Jakarta tahun itu.

Koran nasional berlokasi di Jakarta ini memuat habis-habisan penyerangan AKKBB dan meminta polisi bertindak tegas. Begitu pula koran dan media lain. Sampai sebuah koran nasional keliru memasang foto Munarman yang dinilai “mencekik” .

Beberapa jam pernyataan SBY ini,  lebih 2000 polisi dikerahkan menyerbu rumah Habib Rizieq dan menangkapi anggota FPI. Habib, yang dalam aksi dengan AKKBB tak ikut dilapangan, bersama anak buahnya akhirnya dipenjara. Sementara pelaku AKKBB, Guntur Romli dan intel yang memprovokasi massa dengan mengacung-asungkan pistol untuk memprovokasi FPI, eh malah, tak tersentuh hukum, sampai hari ini.

Di saat yang sama, ratusan kru TV dan koran sudah menungu dan laporan LIVE di markas FPI, Petamburan. Tapi rupanya, bentrok berdarah-darah yang ditunggu-tunggu gagal mendongkrak rating. Maklum, tolak ukur jurnalisme media kita masih berkutat pada, "anjing menggigit orang bukanlah berita, tapi orang menggigit anjing barulah berita!"
Minggu lalu, peristiwa seperti ini nyaris terjadi. Selasa (14/02/2012), 60 orang anggota kelompok LSM (ada buruh, aktivis feminism, homoseksual, lesbian dan waria yang tergabung di LGBT) berkampanye membubarkan FPI dengan tema “IndonesiaTanpaFPI.  Tak ada yang spesial, hanya demo biasa karena kelompok ini menumpang kasus penolakan FPI di Palangkaraya.

Tapi tunggu dulu, yang spesial justru stasiun TV. Di saat yang bersamaan, dua televisi nasional --TV One dan Metro TV—menyiarkan LIVE kejadian ini. Rupanya, dua stasiun TV ini sudah menyiapkan dengan cermat agenda “anti FPI”.  Dengan tema “Anti Ormas Anarkis” Metro “mengeroyok” Mendagri, Gamawan Fauzi agar segera menutup FPI.

Tak sekedar itu, tiap sekian menit, Metro menayangkan gambar-gambar FPI membabi-buta memecahkan kaca bar. Juga cuplikan SBY yang mengatakan, “Negara Tak boleh kalah dengan kekerasan” (mungkin maksud TV, yang boleh kalah harus masyarakat, khususnya Islam).

Tentu kasus ini tak bisa dipandang sederhana. TV begitu bernafsu menganggak masalah biasa-biasa saja menjadi istimewa. TV ingin kasus 2008 terhadap FPI itu berulang lagi. Ini jelas terlihat kesiapan kedua TV itu mengundang nara sumber dan liputan LIVE.

Pertanyaan pertama, bagaimana bisa aksi kecil kemudian hari itu dibuat seolah sebagai sesuatu kasus maha besar? Jawabnya sederhana, karena TV ingin kasus ini dianggap besar.

Pertanyaan kedua, mengapa TV dan media begitu bernafsu memberangus FPI, jawabannya juga sederhana, boleh jadi, karena ada satu huruf “I” (alias Islam) di belakangnya. Bayangkan jika “I” itu diganti Indramayu atau Inul. TV, media, politisi, artis seronok, gay, lesbi tak begitu khawatir dan cemas.

Irasional Khayali

Dari sekian banyak media massa yang dinyawai oleh kapitalisme, TV adalah satu-satunya yang dianggap oleh berbagai ahli sebagai "setan" paling biadab. Apa yang disuguhkan media massa dalam bentuk lain terakumulasi pada televisi. Ia menyuguhkan bacaan, gambar dan suara sekaligus sehingga bukan hanya mampu mengisi dan mewarnai imajinasi, tapi juga menyihir dan mengendalikan seluruh fungsi-fungsi kejiwaan lainnya.

Jean Baudrillard, seorang filosof Prancis, mengungkap sebuah hakikat tentang televisi. Menurutnya, seperti dikutip Yasraf Amir Piliang (dalam bukunya Sebuah Dunia yang Dilipat, Mizan), rangkaian tontonan yang disuguhkan oleh "kapitalis mutakhir" (bernama televisi), telah menyulap (membius) individu-individu menjadi kumpulan mayoritas yang diam (terhipnotis) . Bagaikan sebuah kekuatan sihir yang sangat dahsyat, media menjadikan massa yang diam itu layaknya sebuah layar raksasa yang pasrah dijejali dan dilalui oleh segala sesuatu yang naif. 

Televisi, membius ratusan juta orang dari yang paling bodoh sampai profesor, dari penjahat sampai guru agama, dari balita sampai tua renta, untuk sebuah tontonan sepak bola dini hari. Namun, adakah makna hakiki dan luhur yang berbekas seusai tontonan itu? Di dalam tontonan sepak bola bukan makna (ideologis, moralitas dan spiritualitas luhur) yang dicari para penggilanya, melainkan semacam ekstasi (kepuasan puncak yang sangat sesaat) dari kedangkalan ritual dalam upacara menonton televisi itu sendiri.

Tontonan sejenis, reality show (pertunjukkan nyata) seperti Akademi Fantasi, Indonesian Idol, Kontes Dangdut, Dreamband dan masih banyak lagi, bagi saya adalah "kejahatan spiritual",  yang menggiring masyarakat hanya memburu mimpi dan budaya konsumtif. 

Di hadapan massa yang mabuk seperti itu, pesan-pesan TV yang rendah (serakah, dengki, licik, dusta) merasuki alam bawah sadar mereka dan mengakar kokoh di simpul-simpul kejiwaannya. Apalagi jika para produser, wartawan dan pembawa beritanya punya interest idiologis dan kebencian dengan kelompok lain. Klop!.

Walhasil, televisi yang jadi cermin masyarakat, tapi masyarakat yang jadi cermin televisi. Apapun yang "dilakukan" televisi pasti diikuti masyarakat. Ini karena televisi telah menciptakan ketidaksadaran massal. Meski,  di situ ada indoktrinasi yang sadis dan nilai-nilai sesat.

Leonard Irwin, dosen psikologi dari Universitas Illionis, AS, bersama timnya mengadakan penelitian mengenai hal ini. Mereka menemukan bahwa anak-anak yang pada usia delapan tahun telah menyaksikan tayangan negatif, ketika dewasa akan cenderung melakukan perbuatan jahat dan tidak punya belas kasihan.

Sunday Times pernah menulis, "Meskipun AS memiliki 440 ribu polisi federal, setiap jam terjadi dua kali pembunuhan, 194 kali perampokan bersenjata, 10 kali pemerkosaan terhadap wanita dan anak-anak, dan 600 kali pencurian di rumah-rumah. "

Bodohnya, televisi di negeri kita telah menjadi teman setia dalam keluarga. Seolah hidup kurang lengkap tanpa kehadiran televisi . 

Dajjalisme Informasi

Menutup tulisan ini, mungkin Anda semua  ada yang menganggap saya pecinta "kekerasan" kan? atau saya anggota FPI? Tidak. Seumur-umur saya tak kenal Habib Rizieq, apalagi ikut aksinya. Saya hanya bicara bagaimana efek dramatis siaran sebuah TV dan keadilan menyampaikan kebenaran.

FPI pasti punya salah dan semua kelompok juga punya salah. Hanya saja, media kita sering menutup mata banyak peristiwa, apalagi menyangkut umat Islam. Contoh kecil; adalah Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan berbagai pemikirannya banyak melawan otoritas ulama sedunia dan yang telah disepakati dalam Islam. Mereka hanya kelompok kecil, tidak sampai ratusan. Tetapi oleh media dan TV, semua pikirannya "dipaksakan" agar diterima 200 juta penduduk negeri ini. Adilkah? jelas tidak. Sementara FPI--di luar aksi keras-nya-- ia pasti mewakili harapan mayoritas umat Islam (ada MUI, NU, Muhammadiyah, Al Irysad, Al Wasliyah, Al Khairat, Persis, BKMT, HTI, PKS, Wahdah, ICMI, Hidayatullah dan masih banyak lagi), yang jelas sepakat memberangus kemaksiatan, peredaran minuman keras, pelacuran dll.

Itulah yang sering tak dipahami media. Sehingga banyak orang (khususnya umat Islam), media dan TV lebih memilih minoritas yang tak pernah mewakili ratusan juta umat ini. Jika nilai keadilan ini tak pernah dipahami media, percayalah, satu FPI Anda tutup, kelak bisa saja akan lahir ribuaan FPI di berbagai daerah. Media harus peka sosial di mana ia tinggal. Kita tinggal di negeri dengan penduduk Muslim terbesar, kenapa kepekaan sosial seperti ini sering diabaikan?

Pernah mendengar cerita tentang Dajjal, makhluk besar bermata satu yang muncul menjelang hari kiamat? Makhluk kutukan ini bisa dengan mudah menjadikan manusia berbondong-bondong ingkar kepada Allah. Inilah yang dirasakan masyarakat terhadap berbagai tayangan-tayangan "menyesatkan" media dan TV kita saat ini.

Lantas apa yang harus kita lakukan, sebagai bagian dari umat ini? Memang tidak mudah. Jika 'dajjalisme informasi' ini terus melahirkan standar moral rendahan dan ketidak-adilan, lambat-laun, aksinya akan mengurung dan mengerdilkan entitas ruh dan imajinasi umat Islam. Bukan tak mungkin, seperti tugas Dajjal, di mana tujuan utamanya adalah "memurtadkan" umat Islam dari ajaran agamanya.  Sebelum kita memiliki pilihan yang layak, sebaiknya, "Singkirkan 'kotak setan' itu dari rumah kita sekarang juga!". Wallahu a'lam bi shawab.*

Penulis adalah  mantan Kabid. Litbang HMI Cabang Jogja Periode 1987–1988