“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci
Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
( Ali Imran {3}: 190-191)
( Ali Imran {3}: 190-191)
Bukan kebetulan kalau melahirkan itu sakit. Andaikata Allah Subhanahu
wata’ala menghendaki, tak ada yang sulit untuk menghapus rasa sakit
itu. Mudah pula bagi Allah Ta’ala untuk mencabut susah payah yang
dirasakan oleh ibu-ibu hamil sejak awal mengandung hingga siap
melahirkan. Cukuplah bagi Allah Ta’ala bertitah “Kun!” maka jadilah apa
yang Ia kehendaki.
Ingatlah ketika Allah Ta’ala berfirman, “Allah Pencipta langit dan
bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka
(cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah”. Lalu jadilah ia.”
(Al-Baqarah, {2}: 117).
Kalau kemudian harus ada rasa sakit, bahkan kesakitan yang luar
biasa, pasti ada manfaat besar dibaliknya. Ada hikmah dibalik rasa sakit
saat melahirkan baik bagi ibu maupun bayi yang dilahirkan. Tentu saja
seorang ibu harus merawat kehamilannya dengan baik, menjaga kesehatannya
dan melakukan hal-hal yang memang semestinya dilakukan untuk menjaga
bayi yang ada dalam kandungan. Ini bukan untuk menghilangkan rasa sakit
saat melahirkan, tetapi sebagai penghormatan terhadap amanah Allah
Ta’ala berupa kehamilan.
Andaikata rasa sakit saat melahirkan membawa keburukan besar bagi
bayi yang dilahirkan beserta ibunya, tentu Allah Ta’ala mencabut rasa
sakit itu. Andaikata rasa sakit saat bersalin membawa keburukan besar
yang membahayakan ibu dan anak, secara fisik maupun mental, niscaya kita
sudah nyaris punah. Tak ada lagi yang mau melahirkan disebabkan
besarnya rasa sakit. Tak ada lagi yang bisa melahirkan secara normal
disebabkan trauma persalinan yang tak berkesudahan. Sedangkan anak-anak
yang dilahirkan sudah mengalami banyak masalah.
Tetapi tidak…!
Berjuta-juta ibu tetap tersenyum bahagia justru beberapa detik setelah
melewati rasa sakit itu. Begitu bayi lahir dengan selamat, segala rasa
sakit itu seakan telah terbayar lunas. Wajah mereka berseri-seri, bahkan
di saat yang menunggui persalinan masih merasa penat. Justru besarnya
rasa sakit itulah yang membuat persalinan lebih bermakna. Ada
perjuangan, ada pengorbanan. Salah satu hikmahnya, ikatan emosi antara
ibu dan anak terbentuk lebih kuat sejak hari pertama, bahkan semenjak
bayi belum lahir karena kepayahan yang bertambah-tambah saat mengandung.
Jika kita menyimak sejarah, orang-orang besar dalam dien ini bahkan
dilahirkan bukan saja dengan rasa sakit yang amat sangat, lebih dari itu
ada penderitaan yang nyaris tak tertanggungkan kecuali bagi orang-orang
yang memiliki keimanan sangat kuat. Bukankah Bunda Nabiyullah Ismail
adalah perempuan salehah istri seorang nabi? Bukankah doa seorang nabi
sangat mustajabah? Tetapi kenapa masih harus ada rasa sakit dan
kesengsaraan yang mengiringi kelahiran Isma’il ‘alaihissalam?
Ada pelajaran di sini. Ada yang patut kita renungkan; apa yang harus
kita perbuat dengan ongkos yang telah dikeluarkan oleh para ibu berupa
rasa sakit dan kepayahan yang bertambah-tambah saat mengandung hingga
melahirkan.
Mari kita ingat sejenak firman Allah ‘Azza wa Jalla:
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: ‘Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”.” (Al-Ahqaaf, {46}: 15).
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: ‘Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”.” (Al-Ahqaaf, {46}: 15).
Tak ada yang kebetulan di dunia ini. Setiap ketetapan Allah Ta’ala
pasti terkandung kebaikan besar di dalamnya. Sebagaimana pada setiap
perintah Allah Ta’ala dan sunnah rasul-Nya pasti ada kemuliaan. Bukan
daging kambing yang menyebabkan darah tinggi sehingga banyak kaum
muslimin yang menghindari sunnah nabi. Tetapi gaya hidup kitalah yang
menyebabkan kita mudah penyakitan.
Tetapi, haruskah para perempuan tetap melahirkan dengan rasa sakit?
Bukankah semakin banyak berkembang teknologi maupun metode-metode yang
diklaim dapat membebaskan para perempuan dari rasa sakit saat
melahirkan?
Catatan Dr. Denis Walsh menarik untuk kita perhatikan. Associate
Professor kebidanan di Nottingham University ini menunjukkan dalam
tulisannya yang dimuat di jurnal Evidence Based Midwivery (Kebidanan
Berbasis Bukti) terbitan Royal College of Midwives (RCM) bahwa rasa
sakit saat melahirkan sangat bermanfaat bagi ibu maupun bayi yang
dilahirkan.
Walsh menulis, “Rasa sakit dalam persalinan merupakan sesuatu yang
bertujuan, penuh manfaat, memiliki sangat banyak keuntungan, seperti
misalnya mempersiapkan ibu untuk mengemban tanggung-jawab mengasuh bayi
yang baru lahir.”
Lebih lanjut Walsh menunjukkan bahwa rasa sakit saat melahirkan
bersifat sesaat, sangat menyehatkan dan mempercepat terbentuknya ikatan
emosi yang baik antara ibu dan anak. Walsh menekankan bahwa melahirkan
secara alamiah merupakan pilihan terbaik. Usahakan dengan
sungguh-sungguh agar setiap persalinan berlangsung alamiah.
Dari catatan Walsh kita juga bisa memetik satu pelajaran penting.
Jangan memilih operasi caesar untuk persalinan Anda kecuali sangat
terpaksa, yakni ketika tidak ada pilihan lain dan secara medis memang
diharuskan untuk bersalin melalui operasi. Karenanya, pastikan Anda
memilih dokter yang memiliki integritas pribadi sangat kuat; dokter yang
tidak mudah menganjurkan operasi hanya karena uang. Ini penting untuk
kita perhatikan karena uang itu “hijau” meskipun warnanya pink.
Bagaimana dengan hypnobirthing? Selain tidak didukung bukti-bukti
yang kuat, Walsh juga menganjurkan agar ibu hamil tidak mengikuti
program semacam ini. Sadar atau tidak, pilihan mengikuti program
hypnobirthing telah melemahkan mental untuk siap berjuang dan
berpayah-payah dalam mendidik anak. Berhasil atau gagal, dua-duanya
tidak baik untuk Anda. Salah satu yang mengkhawatirkan jika Anda gagal
menghilangkan rasa sakit saat bersalin, rentan memunculkan kekecewaan
dan penolakan terhadap anak.
Dalam hal ini, sikap mental sebelum melahirkan sangat berpengaruh terhadap bagaimana seorang ibu menjalani persalinan dan mengasuh anak di masa-masa berikutnya. Jika Anda terpaksa bersalin melalui prosedur operasi caesar, sementara Anda sangat berkeinginan untuk melahirkan secara normal dan pada saat yang sama tidak ada niatan untuk menghindari rasa sakit, maka Anda akan lebih siap mengasuh, merawat dan mendidik anak Anda.
Wallahu a’lam bishawab.
Dalam hal ini, sikap mental sebelum melahirkan sangat berpengaruh terhadap bagaimana seorang ibu menjalani persalinan dan mengasuh anak di masa-masa berikutnya. Jika Anda terpaksa bersalin melalui prosedur operasi caesar, sementara Anda sangat berkeinginan untuk melahirkan secara normal dan pada saat yang sama tidak ada niatan untuk menghindari rasa sakit, maka Anda akan lebih siap mengasuh, merawat dan mendidik anak Anda.
Wallahu a’lam bishawab.
Dr. Fauzil Adzim